Rabu, 13 Maret 2013

Bantahan Terhadap Peran Mbah Priok dalam Penyebaran Islam di Jakarta

(foto: boedijaeni.com)

Para pakar sejarah yang selama ini banyak melakukan penelitian mengenai asal-usul Tanjung Priok membantah kisah yang menyebutkan Habib Hasan Alhadad atau ‘Mbah Priok’ merupakan sosok dibalik sejarah penamaan Tanjung Priok. Menurut mereka, sejarah Tanjung Priok tidak ada kaitannya sama sekali dengan keberadaan Habib Hasan Alhadad maupun riwayat ‘Mbah Priok’ tersebut.

Sejarawan Jakarta Alwi Shahab mengungkapkan asal usul atau sejarah Tanjung Priok sudah ada sejak zaman pra sejarah. Kawasan ini sudah berperan sebagai pelabuhan penting sejak masih abad 1 Masehi. Karena di kawasan tersebut terdapat daratan yang menjorok ke laut atau yang dikenal dengan istilah tanjung.

Pada saat itu salah satu komoditas perdagangan yang terkenal adalah alat menanak nasi dari tanah liat yang disebut periuk. Pada saat itu, tokoh terkenal pembuat periuk adalah Aki Tirem, seorang penghulu kampung yang hidup pada abad ke-2 Masehi. Aki Tirem tinggal di pinggiran kali yang saat ini dikenal dengan Sungai Tirem Warakas, Tanjung Priok.


Dari sisi toponomi wilayah , cerita ini ada benarnya. Di Indonesia sebutan Tanjung merujuk pada kontur tanah, sedangkan periuk dikaitan dengan tempat pembuatan alat memasak nasi tersebut yang banyak ditemui pada saat itu.

Ini sesuai dengan penelitian seorang pakar sejarah Jerman Kees Green yang menyimpulkan bahwa banyak tempat di Jakarta merujuk namanya dari kontur tanah, misalnya Tanah abang Bukit, Tegal Alur, Rawasari, Bojong Gede dan lainnya.

Untuk lebih meyakinkan masyarakat bahwa Habib Hasan Alhadad bukanlah tokoh yang menyebarkan Islam di Jakarta, para pakar sejarah Jakarta pun kemudian memaparkan mengenai asal mula dan perkembangan Islam di kawasan ini.

Disebutkan bahwa fakta sejarah masuknya Islam di Jakarta mulai terjadi pada abad ke 14 Masehi. Masuknya Islam di Batavia (Jakarta)  dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418.  Waktu itu dikenal seorang Syekh bernama Syekh Quro, yang bernama asli Syekh Hasanuddin, yang kemudian diketahui berasal dari Negara Kamboja.

Mula-mula maksud kedatangannya ke Pulau Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh Quro, urung meneruskan perjalanannya ke Jawa Timur. Karena dia menikah dengan penduduk setempat dan membangun pesantren di Quro. Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang.

Dalam perkembangannya, seorang santri pesantren Quro, Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam di Pajajaran dan Batavia, sehingga banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya.

Dari sejarah ini kemudian diketahui bahwa titik tolak sejarah pertama kali penyebaran Islam di Batavia yakni antara tahun 1418-1527. Sejumlah tokoh penyebarnya antara lain Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke.

Seperti sejarah tentang perkembangan agama pada umumnya, awal mula penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Dari naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan.

Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buhun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521 dengan dibantu para resi. Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itu, penyebar Islam umumnya memiliki ‘ilmu’ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake.

Sementara para dato umumnya menganut tarekat sehingga banyak resi seperti rersi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur), yang akhirnya takluk dan masuk Islam.  Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok.

Sementara itu, penyebaran Islam di Pesisir Jakarta diketahui telah dimulai sejak abad 15  tepatnya di tahun 1527. Bukti penyebaran Islam di pesisir Jakarta Utara itu, ditandai dengan berdirinya Masjid Al-Alam yang hingga kini masih berdiri kokoh, tepatnya di daerah Cilincing, Jakarta Utara.

Konon, Masjid ini dibangun oleh Raden Fatahilah dan pasukannya untuk menyerang Portugis pada tahun 1527. Diyakini masyarakat setempat, Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari. Hingga kini masjid yang terletak di tepi pantai itu tidak pernah sepi. Selalu diziarahi, lebih-lebih pada malam Jumat kliwon.

Sekitar seratus tahun kemudian, sekitar tahun 1628 hingga 1629, ketika ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung museum sejarah Jakarta), para prajurit Islam ini lebih dulu singgah di Masjid Al Alam, guna mengatur siasat perjuangan.

Pada perkembangan selanjutnya penyebaran Islam dilakukan oleh para padagang Gujarat, yang membangun Masjid Al-Anshor pada tahun 1619 Masehi. Namun beberapa waktu kemudian, sekitar Mei 1619, ketika VOC menghancurkan Keraton Jayakarta, termasuk mesjid tersebut. Akhirnya kemudian, tanah bekas masjid itu digunakan untuk membangun sebuah perwakilan dagang Inggris.

Di tahun yang sama, (1619) penyebaran Islam juga dimulai daerah Jati Negara kaum

Hal itu ditandai ditandai dengan Masjid As-Salafiah yang terletak di Jatinegara Kaum, dekat Pulo Gadung, Jakarta Timur.  Masjid ini didirikan oleh Pangeran Ahmed Jaketra, setelah ia hijrah dari daerah Jayakarta pada tahun 1619, akibat gempuran pasukan VOC.

Masjid itu hingga kini masih terlihat bentuk aslinya, yakni adanya empat tiang utama yang terbuat dari kayu jati yang menjadi penyangganya.

Sekalipun sudah delapan kali direnovasi dan diperluas, empat tiang penyanggah ini masih kita dapati. Dari Masjid As-Salafiah inilah, pangeran Ahmed yang kemudian berganti nama menjadi Pangeran Jayakarta dan pengikutnya mengobarkan semangat jihad untuk terus-menerus mengusik Belanda.

Sehingga sampai 1670, Batavia tidak pernah aman dari gangguan keamanan akibat aksi gerilya Pangeran Jayakarta  dan para pengikutnya. Dalam perkembangan selanjutnya, penyebaran Islan di Jakarta berlanjut dengan kedatangan  Al-Habib Husein bersama para pedagang dari Gujarat yang mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1736 Masehi.

Inilah kiranya salah satu titik tolak sejarah penyebaran Islam di sepanjang daerah Jakarta Utara, termasuk di daerah Tanjung Priok.  Pesisir Jakarta Utara diceritakan sebagai tempat persinggahan terakhir Habib Husein dalam mensyiarkan Islam. Beliau mendirikan Surau di daerah luar batang, dekat Pelabuhan Sunda Kelapa, sebagai pusat penyebaran Islam.

Habib Husein, banyak di kunjungi orang bukan saja dari daerah sekitarnya, tetapi juga datang dari berbagai daerah di Jawa Barat untuk belajar Islam. Habib Husein wafat di Luar Batang, tanggal 24 Juni 1756 M, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1169 Hijriyah.

Konon pula ada yang menarik pada saat wafatnya Habib  Husein, ketika itu VOC melarang Habib Husen dimakamkan di Luar Batang karena orang asing harus dikubur di Tanahabang. Namun tiga kali bolak balik masyarakat mengusung kurung batang berisi jenazah Habib Husen, namun setiap kali tiba di kuburan Tanah Abang, kurung batang itu selalu kosong. Karena jenazah Habib Husein berada di tempatnya semula yakni di kampung luar batang.

Akhirnya masyarakat luar batang memutuskan untuk menguburkan Habib Husen di tempatnya berdakwah selama ini yakni di Masjid Luar Batang.

Penyebaran Islam di Batavia (Jakarta) mulai dilakukan oleh kalangan intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi, sekitar abad ke-19 dengan tokoh-tokoh seperti Guru Safiyan atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.

Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Selain itu juga lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di Betawi juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.

Intelektual Islam Betawi juga lahir sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawa kitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili.

Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900.

Diceritakan pada awalnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.

Demikian kisah di balik penamaan Tanjung Priok dan sejarah penyebaran Islam di Jakarta. Wallahu ‘alam. (*/dari berbagai sumber)

2 komentar:

  1. terima kasih banyak atas reprensinya yah gan, sangat bermanfaat sekali terima kasih

    BalasHapus
  2. Wah, senang sekali membaca ini... Sangat menggiurkan sejarah ini. Bagusnya dijadikan wisata islam kota jakarta.

    BalasHapus