Kamis, 23 Februari 2017

Blusukan BPJS di Markas “Om Telolet Om” Pelabuhan Tanjung Priok



Sekumpulan anak berdiri di pinggir jalan raya sambil mengacung-acungkan kertas bertuliskan, “Om Telolet Om” . Sang pengemudi yang sudah mengerti maksud anak-anak tersebut, lantas membunyikan klakson keras-keras, disusul tawa riang anak-anak itu.

Masyarakat Indonesia belakangan ini tentu sudah tidak asing dengan fenomena seperti disebutkan di atas. Media-media baik cetak maupun online termasuk blog ramai memberitakan fenomena tersebut. Ya muka-muka ceria anak-anak yang berharap sang sopir membunyikan klaksonnya seperti menjadi hiburan bagi sang pengemudi. Apalagi jalanan Jakarta yang nyaris selalu dihiasi dengan kemacetan.

Apa boleh buat, kemacetan dan berbagai persoalan di jalan raya, harus dihadapi sang pengemudi setiap hari. Belum lagi persoalan yang hanya bisa diketahui jika kita banyak berdiskusi dengan para pengemudi tersebut. Ya, bagi anak-anak, dan mungkin sebagian masyarakat, hanya sedikit yang tahu bahwa di balik kerasnya bunyi klakson, kehidupan sopir-sopir truk itu sejatinya berada di zona ketidakpastian tentang masa depan, termasuk tentunya jaminan hari tua dan juga jaminan pensiun

Ilustrasi sederhana, saat masih sehat dan muda usia, mereka bisa mendapatkan order mengirim barang sesuai pesanan juragan. Tapi manakala usia makin tua, mereka pun harus suka rela melepas kemudi truk. Terlalu besar resikonya jika tetap memaksakan diri mengemudikan kendaraan di jalan raya. 

Kenyataannya, sopir-sopir itu memang hanya mendapatkan upah jika mendapat order sesuai  jarak tempuh pengiriman barang. Saat tidak ada order,  sopir-sopir itu pun tidak mendapatkan penghasilan. Istilahnya, no work no pay.

Penghasilan yang mereka terima pun tidak menentu. Itu karena mereka hanya mendapatkan upah dari sisa uang jalan yang diberikan pemilik truk. Sementara yang dimaksud uang jalan sudah mencakup keseluruhan, mulai dari solar, makan minum selama perjalanan, kempes ban,  sampai  berbagai pungutan baik yang resmi maupun tidak resmi.

Dengan demikian, besar kecilnya penghasilan tergantung sisa dari pengeluaran selama dalam perjalanan tersebut. Jika sedang tidak banyak pengeluaran, penghasilan lebih besar karena pengeluaran hanya untuk kebutuhan solar saja. Tapi jika pengeluaran di jalan banyak, penghasilan pun menjadi  berkurang bahkan tidak bersisa sama sekali.

Sistem seperti ini sudah puluhan tahun berlangsung. Hubungan kerja antara pemilik truk dan pengemudi sebatas hubungan by order belaka. Hubungan itu dibungkus dengan istilah yang sepintas keren: kemitraan. Padahal, dalam prakteknya sopir menghadapi situasi ketidakpastian baik menyangkut penghasilan maupun jaminan masa depan, jaminan hari tua dan jaminan pensiun.

Berangkat dari hal tersebut, tak mengherankan jika kita sering mendengar aksi protes para sopir kepada juragan truk agar mereka diperlakukan seperti pekerja pada umumnya,  memperoleh gaji setiap bulan serta fasilitas lain seperti kesehatan, kecelakaan kerja, maupun jaminan hari tua.

Mengulang kalimat di atas, kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Kondisi yang pernah saya alami dan teman-teman pengurus serikat pekerja saat berupaya meningkatkan kesadaran para pengemudi akan pentingnya mempersiapkan kehidupan di hari tua, pentingnya mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan (sebelumnya dikenal dengan sebutan Jamsostek). Dengan segala keterbatasan, harus gerilya dari garasi ke garasi tempat kendaraan dan sopir itu berkumpul. Tak jarang  mendapat penolakan dari para pemilik armada. Mereka –para pemilik armada itu—merasa tak perlu mengikutsertakan pengemudinya ikut program tersebut. Mereka menganggap kewajiban mereka sebatas memberikan uang jalan semata.  Dan itu dianggap lebih dari cukup.

Blusukan
Foto-foto Kegiatan Serikat Pekerja
Meski mendapat tantangan, gerilya atau blusukan dari satu garasi ke garasi terus dilakukan. Sasarannya, garasi yang tak jauh dari kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, tempat saya dan teman-teman beraktivitas sehari-hari.  Blusukan ini belum sepenuhnya berhasil. Tapi ini merupakan ikhtiar yang kami lakukan sebagai langkah persuasif baik kepada pemilik truk maupun para pengemudi. Bahwa untuk bisa ikut serta dalam program BPJS Ketenagakerjaan tidak harus melakukan aksi-aksi yang mungkin kurang kondusif dari sisi hubungan pemilik dan pengemudi. Apalagi para pengemudi truk merupakan pekerja yang tidak memiliki perjanjian hubungan industrial langsung dengan pemilik angkutan (status pekerja harian lepas). 

Pendekatan persuasif yang dilakukan ke garasi-garasi ditempuh dengan dua langkah utama. Pertama, mendatangi petugas BPJS Ketenagakerjaan untuk berdiskusi dan mengetahui lebih jauh tentang program lembaga tersebut. Alhamdulillah, petugas BPJS sangat welcome dan berbagi pengalaman tentang aksi sosialisasi door to door ke garasi. Tak hanya itu, berdiskusi dengan petugas BPJS Ketenagakerjaan juga mendapatkan informasi tambahan mengenai program BPJS untuk perorangan. 

Kelompok-kelompok masyarakat seperti pedagang pasar, pemilik dan pegawai toko, penjahit, tukang ojek, pedagang kaki lima, bahkan pembantu rumah tangga. Programnya seperti yang saya sosialisasikan selama ini yakni jaminan kecelakaan kerja, kematian dan hari tua.  Dengan premi kurang dari 100 ribu sebulan, peserta mendapatkan manfaat yang luar biasa. Misalnya jika meninggal karena kecelakaan kerja mendapat santunan sekitar Rp124 juta, meninggal dunia santunan sebesar Rp21 juta, dan juga jaminan hari tua.

Kedua, berbekal informasi dari petugas BPJS Ketenagakerjaan, kemudian dilanjutkan dengan blusukan ke garasi-garasi tempat para sopir itu berkumpul. Alhamdulillah, meski belum sepenuhnya berhasil, beberapa garasi kini sudah mengikutsertakan pengemudinya ikut dalam program BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Masih banyak garasi yang harus dikunjungi. Masih banyak pengemudi yang harus diajak ikut dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Itu semua membutuhkan waktu. Harapannya kini, pihak BPJS Ketenagakerjaan lebih gencar lagi mensosialisasikan program-program tersebut.  Kenyataan di lapangan, mereka juga bukan tidak mau ikut, tapi masih minimnya informasi dan juga kesadaran dari para pemilik armada untuk mengikutsertakan para pengemudi ikut dalam program BPJS Ketenagakerjaan.  Sekian puluh ribu truk yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok, sekian puluh ribu pula pengemudi  yang seharusnya memperoleh hak  untuk masa depan, jaminan hari tua dan jaminan pensiun  yang lebih baik melalui program BPJS.***