Jumat, 22 November 2019

Jogja, Kota Istimewa dengan Banyak Pesona Wisata

DARI STASIUN PASAR SENEN, Jakarta jam 7 pagi, tiba di stasiun Tugu, Yogyakarta jam 3 sore. Keluar dari stasiun, memanggil tukang becak, tawar-menawar ongkos, setelah sepakat langsung menuju hotel. Sengaja tidak naik taksi atau ojek online agar bisa lebih menikmati suasana Jogja atau Yogyakarta di sore hari.

Tak lebih dari 10 menit, akhirnya tiba di hotel tujuan. Setelah membayar ongkos becak, langsung masuk lobi menuju resepsionis. Sekadar informasi, hotel tempat saya menginap itu terletak tidak jauh dari kawasan wisata Malioboro. Sengaja memilih sekitar kawasan itu demi kemudahan akses menelusuri Yogyakarta sebagaimana travel  itinerary yang sudah saya buat.

“Selamat sore Bapak. Ada yang bisa kami bantu?” suara petugas resepsionis bertanya ramah.

“Mau check in atas nama Karnali Faisal, booking tanggal 10 Juni, seminggu lalu, via online,” jawab saya. Lengkap.

“Oke ditunggu ya Pak. Kami cek dulu..”  ujar petugas resepsionis itu.

“Silakan,” jawab saya.

Tak lama, resepsionis berparas manis itu menyampaikan betul ada nama saya di daftar tamu hotel tersebut. Dia menyebutkan nama lengkap saya dan tipe kamar yang saya booking serta rencana lamanya waktu menginap.

“Bisa dibantu KTP-nya Pak?”

Saya mengeluarkan dompet dari dalam tas, lalu mengambil KTP dan menyerahkannya kepada petugas resepsionis tersebut. Petugas hotel itu kemudian menginput data saya dan tampak berbicara menggunakan Handy Talky.

Tak sampai 5 menit, petugas resepsionis kemudian menyerahkan kembali KTP dan kunci kamar.

“Ini kunci kamar 346 Pak. Dari sini silakan Bapak naik lift, nanti ada room boy yang membantu membawa barang-barang Bapak dan mengantarkan ke kamar. Untuk breakfast di restoran lantai bawah dekat kolam renang ya ,” ujar petugas resepsionis itu.

“Oke terima kasih. Di kamar ada Wifi kan?” tanya saya.

“Ada Pak. Passwordnya nomor kamar hotel spasi yogya. Huruf kecil semua ya. Ada lagi yang ditanyakan Pak?,” jawab petugas resepsionis itu.

“Cukup, terima kasih,”

“Baik Bapak, selamat beristirahat,”

Seorang room boy dengan seragam bertuliskan nama hotel menghampiri. “Saya bantu bawain tasnya ya, Pak..”

“Oke silakan...”

Tiba di kamar saya membongkar isi tas untuk kemudian menyimpan pakaian di lemari dan menempatkan barang-barang lainnya di atas meja. Setelah itu menuju kamar mandi untuk membersihkan badan usai seharian dalam perjalanan di atas kereta. 

Masih ada waktu 1 jam lagi untuk beristirahat. Sekadar menikmati welcome drink sembari membaca lagi rencana perjalanan (itinerary).

Dari itinerary yang sudah saya susun dua minggu lalu, rencananya jam 5 sore mau ke tempat penyewaan sepeda motor. Dari hasil berselancar di internet, banyak tempat penyewaan sepeda motor di Jogja. Salah satu tempat penyewaan itu berada di sekitar Malioboro. Tarifnya terjangkau hanya Rp70 ribu sehari untuk motor matic.

Saya merencanakan akan menyewa selama 4 hari agar bisa mengesplorasi Jogja lebih leluasa. Sejumlah tempat yang akan saya kunjungi selama di Jogja antara lain Keraton Jogja, Malioboro, Pantai Parangtritis, Goa Pindul, tempat membuat kerajinan perak Kotagede, dan Prambanan. Kalau masih sempat, mau juga keliling kota dengan Trans Jogja. Sebenarnya ingin juga ke Merapi, tapi dari itinerary yang saya buat, waktunya kurang memungkinkan. Mungkin di lain kesempatan berlibur ke Jogja, Merapi menjadi tujuan utama selain destinasi yang lainnya.

 ***
Tempat penyewaan sepeda motor itu terbilang ramai. Seorang pemuda yang berjaga di situ menanyakan jenis sepeda motor yang mau saya sewa.

“Merek apa aja yang penting matic,” jawab saya. Pemuda itu kemudian meminta temannya untuk mengambil sepeda motor yang saya maksud di garasi. Setelah dicek semua kelengkapannya, saya setuju menyewa motor tersebut,

Ternyata selain KTP, saya juga harus menyimpan uang jaminan (deposit) sebesar satu setengah juta rupiah. Karena tidak bawa uang cash saat itu, terpaksa harus ke ATM dulu. Untung di Pom bensin dekat penyewaan sepeda motor itu, ada ATM. Setelah menyelesaikan semua urusan administrasi, saya pun kembali hotel dengan membawa sepeda motor sewaan tersebut.

Rasa cape selama dalam perjalanan Jakarta Jogja mengalahkan keinginan saya untuk mengeksplorasi Jogja di malam hari. Seperti yang sudah saya rencanakan, malam pertama di Jogja saya ingin menghabiskan waktu di Malioboro. Saya sering mendengar cerita yang begitu mengesankan tentang Malioboro, dan nanti malam saya ingin membuat sendiri cerita itu.

“Motornya jangan dikunci Pak,” ujar petugas parkir. Saya mengiyakan. Mungkin untuk memudahkan keluar masuk motor di tempat parkiran itu.

Suasana Malioboro di malam hari (swaragamafmcom)

Sebagaimana yang direncanakan liburan dengan budget minimal di Maliboro pun berlangsung tanpa hambatan. Kawasan Malioboro malam hari begitu eksotis dan ramai dengan masyarakat maupun wisatawan. Selain wisata belanja, di sini bisa juga disebut sebagai pusat wisata kuliner. 

Hiburan musik dari para pengamen jalanan menambah semarak suasana. Cahaya lampu dari Museum Benteng Vredeburg pun menambah terang kawasan itu.

Sayangnya ada yang terlupa dan sangat saya sesalkan yaitu kamera. Padahal, kalau saja membawa kamera saya bisa mengabadikan suasana Malioboro saat itu. Resiko berpetualang sendiri memang seperti ini. Kalau ada barang yang lupa dibawa atau ketinggal an tidak ada yang mengingatkan.

Dengan segala keterbatasan fasilitas kamera HP, akhirnya hanya bisa memotret dengan hasil seadanya. Tapi lumayan. Toh target mengeksplorasi kawasan Malioboro sudah berhasil dilakukan. Duduk-duduk di depan Museum Benteng Vreduburg, beranjak ke depan Keraton Jogja, kemudian beristirahat sambil minum wedang ronde ditemani kudapan penghangat tubuh.

Malam makin larut. Waktu sudah menunjukan hampir jam 11. Tapi kehidupan Malioboro seperti terus berdenyut. Para pengunjung masih betah belanja souvenir maupun pakaian yang dijual di toko maupun pedagang kaki lima.

Saya belum berbelanja karena rencananya sebelum kembali ke Jakarta, akan kembali ke Malioboro lagi sekadar membeli oleh-oleh yang dijual di situ seperti bakpia, kaos dan souvenir lainnya.

Eksplorasi di seputaran Malioboro malam itu tuntas. Jam 11 kurang sepuluh menit saya menuju parkiran motor untuk selanjutnya kembali ke hotel. Beristirahat.

Mungkin karena cape seharian, malam itu saya tertidur lelap. Jam 6 pagi baru bangun. Padahal, tadinya saya mau berangkat lebih pagi karena akan mengunjungi Pantai Parangtritis. Akhirnya saya bergegas mandi dan mempersiapkan perjalanan hari kedua di Jogja.

Sambil sarapan pagi di hotel, saya kembali berselancar di internet. Sekadar memastikan jarak antara Kota Jogja dan Parangtritis serta lama perjalanan. Ternyata dari Google Maps saya mendapat info jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 27 Km. Itu artinya saya bisa menempuh perjalanan paling lama 1 jam dengan kecepatan sepeda motor 40 km/jam. Saya memang tidak mau cepat-cepat di perjalanan. Karena memang tujuannya untuk berwisata, bukan untuk bekerja atau keperluan lainnya. Tentunya bersantai dalam perjalanan lebih cocok.

Setelah mengetahui perjalannan yang tidak terlalu jauh, saya pun tidak terburu-buru. Saya memutuskan untuk berangkat jam 9 pagi sehingga bisa sampai di Parangtritis jam 10 atau jam 11, tergantung kondisi lalu lintas. Tapi saya yakin traffic ke Parangtritis juga penuh karena saat itu kebetulan sedang musim liburan.

Singkat cerita, setelah menitipkan kunci kamar ke resepsionis, saya pun memulai kembali petualangan pagi itu menuju Pantai Parangtritis. Cuaca pagi itu memang bersahabat. Cocok untuk melakukan perjalanan dengan mengendarai sepeda motor.

Saya tiba di Parangtritis kurang lebih jam setengah sebelas.  Sinar matahari mulai menyengat. Dari tempat parkir yang tidak terlalu jauh dari pantai, saya melihat sudah banyak orang yang menikmati suasana Parangtritis siang itu.

“Ada kamar juga buat menginap. Murah. Paling juga dua ratus ribuan,” ujar tukang parkir saat saya tanya kalau mau bermalam untuk menyaksikan matahari terbit (sunrise) besok pagi.

Sepanjang jalan menuju pantai, para pedagang menawarkan dagangannya. Celana renang, pelampung, dan aneka aksesoris lainnya. Para penunggu kedai  yang berderet di situ juga menawarkan makanan atau minuman.

“Monggo mampir. Ngebakso dulu..” tawar seorang pedagang bakso. Saya melambaikan tangan dan terus berjalan.

Pantai Parangtritis (wisatajogjaarucom)
 Meskipun tidak ada teman untuk mengobrol, tapi seru juga menikmat liburan sendiri. Saya bebas berkenalan dengan banyak orang baru yang saya temui di pantai itu. Sama seperti halnya waktu di Malioboro tadi malam. Saya berkenalan dengan Andreas, teman baru asal Flores, yang juga sedang berlibur di Jogja. Bedanya Andreas datang ke Jogja dengan rombongan teman-teman kampusnya.

Sendiri di Parangtritis, saya berendam di pantai, menikmati demburan ombak yang susul-menyusul secara bergelombang. Kemudian berjemur seperti banyak orang lainnya di terik siang itu. Saya juga menyewa andong yang ditarik kuda berkeliling di pinggir pantai. Seru.

Lelah berendam dan berjemur di pantai, saya menikmati es kelapa muda dan kue-kue tradisional yang dijajakan para pedagang asongan di situ.

Berjam-jam berjemur di pantai membuat kulit terasa gosong. Apalagi matahari di bulan Juni memang sedang panas-panasnya.Tapi suasananya memang mengasyikan.

Ketika matahari sudah mulai beranjak ke sore hari, saya pun meninggalkan Pantai Parangtritis. Selanjutnya mandi dan membersihkan diri yang tersedia di area penginapan kawasan Parangtritis.
Sekitar jam 5 saya sudah siap-siap kembali ke hotel di Jogja.

Demikianlah pengalaman dua hari di Jogja. Menikmati suasana malam hari di Malioboro dan berwisata ke Pantai Parangtritis. Masih ada tiga hari lagi di Jogja. Seperti rencana yang sudah disusun, Goa Pindul, Kota Gede, dan menyusuri kota dengan Trans Jogja menjadi agenda perjalanan besok. Hari terakhir ke ke Pasar Bringharjo dan Maliboro untuk sekadar membeli oleh-oleh buat teman-teman kantor.

Ada yang di luar rencana sebenanrnya. Malam setelah di Parangtritis, saya menikmati Jogja dalam balutan suasana milenial. Saya nge-mal di Ambarukmo Plaza untuk makan dan menonton film yang sedang tayang saat itu. Tidak terlalu malam. Jam 11 kembali ke hotel karena harus mempersiapkan energi esok harus ke Goa Pindul.

Saya ingin mempersingkat cerita perjalanan ke Goa Pindul dan Kotagede. Tentunya kalau diceritakan akan panjang sekali dan banyak kisah yang menarik. Contohnya waktu berkunjung ke Goa Pindul yang pengalamannya sulit untuk dilupakan. Keseruan menyusuri aliran sungai di dalam goa itu luar biasa.. Kita menggunakan pelampung duduk di atas ban dalam mobil, kemudian membentuk kelompok yang saling berpegangan, bahkan dengan orang yang tidak kenal, itu seru. Para guide tour sigap membantu para wisatawan yang kesulitan menaiki pelampung. Tentunya ini akan lebih seru lagi jika dilakukan secara berombongan karena menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Goa Pindul (hargatiketmasukinfo)
Sedangkan di Kotagede saya menyaksikan para pengrajin yang membuat aneka macam barang dan perhiasan dari perak. Sepanjang jalan ini berderet toko-toko yang menjual barang-barang hasil kerajinan dari perak dan berbagai bahan lainnya. Cocok untuk souvenir. Saya membuat ukiran nama di atas lempengan perak dan kemudian diikat menggunakan kalung yang juga dari perak. Buat kenang-kenangan.

Keseruan lainnya waktu menaiki Transjogja. Seru karena bisa melihat kesibukan Joga. Seru juga karena saya naik dari halte transjogja pertama sampai terakhir, dan kemudian balik lagi sampai kemudian turun di Malioboro.

Sesuai rencana saya harus sudah kembali di hari ke-4. Sisa waktu saya habiskan untuk berjalan di antara lorong-lorong penjual batik dan pakaian lainnya di Pasar Bringharjo, kemudian menyusuri pertokoan Maliobor dan kemudian membeli oleh-oleh khas Jogja lainnya: Bakpia. Setelah itu mengembalikan sepeda motor ke tempat penyewaan sekaligus mengambil KTP dan uang jaminan. Lalu check out hotel.

Tiket kereta api sudah ditangan. Kereta dari Jogja berangkat jam 17.45. Saya pun bergegas menuju Stasiun Tugu, meninggalkan Jogja dengan banyak kesan tentang kota dengan banyak pesona wisata dan biaya liburan yang cukup terjangkau. Sampai jumpa lagi dengan cerita liburan di Jogja. Masih banyak tempat yang belum dikunjungi. Salah satunya Merapi. Mudah-mudahan nanti ada kesempatan lagi.***

Senin, 18 November 2019

Peran KNKS Sebagai Katalisator Pemberdayaan UMKM Berbasis Syariah


Ketua Umum  Gabungan Eksportir Indonesia (GPEI, Khairul Mahalli, menyebut potensi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk memasarkan produk-produknya ke luar negeri sangat terbuka lebar. Menurut sosok yang juga menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Sumatera Utara tersebut, permintaan produk-produk dari Indonesia terus meningkat terutama di negara-negara berpenduduk muslim, seperti Timur Tengah, Brunei Darussalam serta Malaysia.

Mahalli menilai besarnya permintaan tersebut menunjukan kepercayaan yang tinggi terhadap kualitas produk-produk asal Indonesia. Masyarakat muslim di luar negeri juga percaya proses pembuatan produk tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah Islam (syariah). Hal ini dibuktikan dengan sertifikasi baik pemerintah maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam perbincangan dengan penulis, akhir Oktober 2019 lalu, Mahalli mengharapkan sinergitas semua pemangku kepentingan untuk mendorong penetrasi produk-produk UMKM ke luar negeri. Sebagai langkah awal, GPEI melakukan aksi jemput bola (road show)  ke sejumlah kota besar di Indonesia. Kota-kota besar tersebut antara lain Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan, dan Makassar.

Tujuan dari road show tersebut untuk menjaring produk-produk unggulan hasil karya para pengusaha UMKM. GPEI menargetkan bisa menjaring ratusan pengusaha UMKM di setiap kota besar yang dikunjungi. Kelak setelah mendapatkan mitra-mitra pengusaha UMKM, GPEI melalui para anggotanya akan melakukan pendampingan baik modal maupun manajemen pemasaran. Termasuk juga memenuhi berbagai persyaratan agar produk UMKM tersebut bisa menembus pasar luar negeri (ekspor).

Mahalli menyebut inisiatif GPEI tersebut didorong semangat agar persoalan-persoalan yang selama ini membelit UMKM bisa diurai satu persatu. Harapan selanjutnya, imbuh Mahalli, terbangunnya sinergitas dari semua pihak untuk memajukan UMKM baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri.

Meski belum bisa menjangkau puluhan juta pengusaha UMKM, langkah yang dilakukan GPEI memang patut diapresiasi. Apalagi hal tersebut dilakukan asosiasi pengusaha (eksportir) yang merasa prihatin dengan besarnya potensi UMKM namun masih menghadapi berbagai kendala ketika akan memasarkan produknya ke luar negeri.

Salah satu kendala yang berusaha dipecahkan GPEI adalah permodalan. Tak sedikit pengusaha UMKM yang tidak bisa memproduksi barang dalam jumlah banyak karena terkendala modal. Di sisi lain, akses ke lembaga-lembaga keuangan juga tidak bisa dijangkau karena berbagai faktor, yang salah satunya berupa agunan. Karena itu, GPEI merencanakan melakukan kerja sama penyertaan modal pada UMKM yang memiliki prospek untuk dikembangkan.

GPEI mengakui langkah tersebut belum bisa menjangkau seluruh UMKM yang berjumlah puluhan juta di seluruh Indonesia. Namun langkah itu akan menjadi ‘pilot project’ kerja sama pengusaha UMKM dengan para eksportir. Dengan demikian, kerja sama tersebut diharapkan menjadi role model bagi pemberdayaan UMKM khususnya yang berorientasi ekspor.

Harapan besarnya, semakin banyaknya pengusaha UMKM yang bisa tumbuh melalui pendampingan GPEI, akan semakin besar pula peluang untuk mengembangkan usaha. Itu artinya, kelak peran lembaga-lembaga keuangan memberikan kredit permodalan menjadi sangat dibutuhkan. Tak kalah pentingnya dukungan dari pemerintah maupun lembaga-lembaga otoritas lainnya dalam menerbitkan berbagai sertifikasi produk UMKM tersebut.

Mengutip pernyataan Mahalli, dalam hal permodalan pun banyak pengusaha UMKM memilih berhati-hati. Mereka menghindari penawaran modal dari lembaga-lembaga keuangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Selain khawatir terjebak pada praktik riba, bunga pinjaman yang tinggi juga menjadi alasan bagi mereka menghindari penawaran modal tersebut.

Di sisi lain, tak sedikit pengusaha UMKM yang justeru memilih jalan pintas dengan mengajukan pinjaman modal kepada lembaga berkedok koperasi atau perorangan meskipun dengan bunga pinjaman yang tinggi. Data pada Kadin Jawa Barat, sebagaimana dikutip Okezone.com,  dari sekira 6 juta pengusaha UMKM di provinsi tersebut, 40% terjebak utang pada rentenir!

Kesulitan memperoleh modal seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank-bank pemerintah menjadi pemicu merebaknya pengusaha UMKM yang terjerat utang pada rentenir tersebut. Dibandingkan dengan pengajuan kredit ke bank yang harus menggunakan agunan, pinjaman modal kepada rentenir tidak membutuhkan agunan dengan proses yang jauh lebih cepat. Meskipun dengan konsekuensi bunga pinjaman terbilang tinggi, mencapai 10% sampai 30% per bulan.

Peran KNKS
Langkah GPEI memulai pemberdayaan UMKM dengan melakukan pendampingan baik modal, manajemen usaha maupun pemasaran terutama untuk produk-produk berskala ekspor, bisa menginspirasi para pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan pendampingan serupa. Apalagi meningkatnya bisnis pengusaha UMKM bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Tentu saja, pendampingan terhadap para pengusaha UMKM tersebut bersifat simbiosis mutualisma atau saling menguntungkan para pihak yang terlibat dalam kerja sama. Dengan demikian, produk-produk pengusaha UMKM semakin diminati dengan penetrasi pasar yang lebih luas, keuntungan finansial sebagai hasil dari kerja sama itu pun bisa dinikmati.

Dalam konteks ini, peluang UMKM untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi memang sangat besar. Sebagai contoh ketika pada awal Januari 2019 lalu penulis melakukan perjalanan menyusuri Tol Trans Jawa dari Merak sampai Probolinggo. Di tol sepanjang kurang lebih 1000 Km tersebut, penulis memilih berhenti di setiap tempat peristirahatan (rest area).

Dari perbincangan dengan pengelola rest area maupun para pedagang makanan/minuman di tempat tersebut, potensi pengembangan UMKM terbuka lebar. Tidak hanya di lingkup rest area, melainkan di kawasan-kawasan sepanjang tol tersebut (hinterland).

Itu artinya, produk-produk UMKM  baik makanan, minuman ataupun barang-barang kerajinan masyarakat bisa diekspose lebih besar lagi. Termasuk di dalamnya makanan atau minuman khas dari daerah-daerah sepanjang tol Trans Jawa. Pengenalan produk ini satu paket dengan promosi kawasan wisata-wisata yang potensial untuk dikembangkan. Jika di kawasan-kawasan tersebut bisa dilakukan, maka tentu saja bisa diduplikasikan di daerah-daerah lain di Indonesia dengan berbagai penyesuaian sesuai dengan ciri khas masing-masing.

Asosiasi Pemerintah daerah baik kota/kabupaten maupun provinsi harusnya lebih proaktif mendorong kerja sama pemberdayaan UMKM tersebut. Kerja sama ini tidak hanya dalam bentuk penerbitan database potensi UMKM di masing-masing daerah, namun diperluas pada langkah nyata pendampingan pengusaha UMKM tersebut.

Pendampingan dalam soal permodalan, misalnya, pemerintah daerah bisa menggandeng Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS). Komite yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 91 tahun 2016 itu memang memiliki tugas sebagai katalisator perkembangan keuangan syariah dalam skala nasional maupun internasional. KNKS juga diamanatkan untuk turut mendorong pengembangan ekonomi syariah.

Sebagai katalisator, peran yang diemban KNKS tersebut sangat tepat dimanfaatkan pemerintah daerah, pengusaha UMKM maupun asosiasi pengusaha. Terlebih lagi dengan label syariah, Pemerintah Daerah bisa lebih mudah meyakinkan semua pelaku usaha UMKM yang sejauh ini menghindari kerja sama dengan pihak lain karena kekhawatiran tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama (syar’i).

Jika sejauh ini pengusaha UMKM kesulitan mengakses lembaga-lembaga keuangan, diharapkan melalui peran KNKS hal tersebut bisa diatasi. Begitu pun bagi lembaga-lembaga keuangan syariah yang selama ini terkendala dalam menjalin kerja sama dengan UMKM bisa terjembatani dengan kehadiran KNKS. Jika mengacu pada pengusaha UMKM yang mencapai 10 juta serta jumlah lembaga keuangan berbasis syariah sebanyak 5000 institusi, peluang kerja sama yang saling menguntungkan itu sangat terbuka lebar.

Sebagai catatan, dari 5000 institusi tersebut, saat ini terdapat 34 Bank Syariah, 58 operator takaful atau asuransi syariah, 7 Modal Ventura Syariah, 163 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, 4500-5500 Koperasi Syariah atau Baitul Maal wat Tamwil, dan satu institusi pegadaian syariah yang bisa didorong untuk melakukan kerja sama pemberdayaan pengusaha UMKM.

Peluang ini kian besar jika menilik jumlah penduduk Indonesia di tahun 2019 sebanyak 260 juta dan 85% di antaranya merupakan pemeluk agama Islam. Begitu pun jika mengacu pada jumlah penduduk muslim di dunia yang mencapai 1,8 miliar jiwa (24% populasi dunia) menjadi potensi tersendiri untuk pemberdayaan pengusaha UMKM tersebut.

Jika saja potensi tersebut bisa dikelola dengan baik maka peran KNKS dalam memberdayakan UMKM berbasis syariah menjadi sangat penting. Karena itu jalinan kerja sama antara pemerintah daerah dengan KNKS menjadi demikian strategis untuk mewujudkan kerja sama tersebut.

Tak hanya itu, bagi pemerintah daerah, keuntungan kerja sama ini akan bertambah dengan tumbuh dan berkembangnya usaha UMKM yang bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Efek berantai (multiplier effect) lainnya meningkatnya kunjungan wisatawan  ke daerah karena ingin berbelanja produk UMKM sekaligus menikmati panorama alam di daerah tersebut. Bahkan sejalan dengan program KNKS mendorong produk maupun wisata halal, pemerintah daerah pun bisa mempelajari dan mengimplementasikan program tersebut.

Pada akhirnya, jika semua mata rantai tersebut bisa saling terkoneksi, masyarakat berbasis ekonomi syariah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan program-program KNKS tersebut bisa cepat terwujud. Insya Allah.*** [Karnali Faisal]

Selasa, 12 November 2019

Keunggulan Transportasi Tol Trans Jawa Jadi Sarana Wujudkan Indonesia Maju Bersama


Saya ingin menulis sebuah kesaksian tentang keunggulan sarana transportasi penting di Indonesia: Tol Trans Jawa dan Jalur Pantai Utara (Pantura).

Saya tulis kesaksian ini karena pernah melintasi dua sarana transportasi itu dalam rentang waktu yang berbeda. Seperti diketahui, yang dimaksud jalan Pantura Pulau Jawa itu membentang sepanjang 1.316 km dari Anyer, Merak, Banten, sampai Banyuwangi. Sedangkan Tol Trans Jawa dari Merak sampai Probolinggo (saat itu dari Probolinggo sampai Banyuwangi baru masuk fase pembebasan lahan).  Jadi nanti jika selesai semua, maka panjang tol Trans Jawa mencapai 1.167 km.


Meskipun waktu itu tol baru sampai Probolinggo, perjalanan saya masih ditambah lagi dengan melintasi jalur tol Cipularang (Cikampek Purwakarta Padalarang), Purbaleunyi (Purwakarta, Bandung, Cileunyi), Jagorawi (Jakarta, Bogor, Ciawi), serta Tol Bocimi (Bogor, Ciawi, Sukabumi).

Untuk jalur Pantura, saya memang tidak menyusuri Merak sampai Banyuwangi sepenuhnya, melainkan hanya dari Jakarta sampai Surbaya. Tapi setidaknya itu bisa disebut ¾ jalur Pantura. Dari sisi waktu perjalanan, saya melintasinya jauh sebelum Tol Trans Jawa beroperasi atau ketika tol baru sebagian saja di Pulau Jawa.

Sekadar informasi, perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya saya tempuh selama hampir 18 jam. Itu pun hanya diselang istirahat sejenak untuk makan, isi BBM, dan salat. Meski perjalanan 18 jam, saya tidak begitu cemas karena perjalanan dilakukan bersama dua orang teman yang mengemudi secara bergantian.

Untuk menghindari terjebak macet di dalam kota, saya sengaja berangkat dari Tanjung Priok, Jakarta jam 4 pagi dan langsung masuk tol Jakarta Cikampek.

Dari gerbang tol Cikampek kemudian belok kiri menuju persimpangan Jomin untuk selanjutnya masuk jalur Pantura Subang.  Keluar dari tol Cikampek masuk jalur arteri agak tersendat karena persimpangan jalan yang menuju Cikampek dan Subang.

Di jalur arteri, pengemudi mobil harus ekstra hati-hati. Bukan semata karena banyaknya kendaraan pribadi, angkot, bus dan truk yang melintas, namun karena banyak pengguna sepeda motor yang juga melintas di jalur tersebut. Belum lagi terminal maupun pasar pinggir jalan yang membuat kendaraan harus mengurangi laju kecepatan.

Di jalur Pantura Indramayu, kendaraan harus kembali mengurangi kecepatan karena adanya perbaikan jalan. Penyempitan jalan juga terjadi di Cirebon sebelum masuk Losari yang menjadi perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Dari Brebes Jawa Tengah, perjalanan relatif lancar sampai Pekalongan. Selanjutnya agak tersendat di Batang menjelang kawasan hutan Alas Roban. Truk-truk bermuatan berat harus mengurangi kecepatan karena kontur jalan yang menanjak. Hal itu berpengaruh terhadap antrian kendaraan di belakangnya. Dari Batang, perjalanan berlanjut ke Kendal, kemudian masuk Semarang.

Dibandingkan rute perjalanan sebelumnya,  jalur dari Semarang menuju Surabaya relatif lebih lancar. Kendaraan tidak sepadat Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ini dirasakan mulai dari Demak, Kudus, Rembang, hingga perbatasan Jawa Tengah Jawa Timur, berlanjut ke Tuban, Lamongan, Gresik dan terakhir Surabaya.

Jujur saja, berada di dalam kendaraan selama kurang lebih 18 jam, rasanya memang melelahkan.  Apalagi istirahat di sejumlah tempat kurang lebih hanya setengah jam saja.

Istirahat pertama kali di Rumah Makan Uun, Subang. Kemudian mengisi BBM di POM Bensin Sukra, Indramayu. Istirahat lagi di sebuah rumah makan Alas Roban, Batang.

Dari situ, pengemudi mengajak beristirahat sejenak di pinggir jalan raya Tuban.  Dari sini perjalanan berlanjut tanpa istirahat sampai masuk kota Surabaya. Jika dihitung dari sejak berangkat jam 4 pagi dari Jakarta sampai Surabaya jam 10 malam, perjalanan ditempuh kurang lebih 18 jam.

Dengan kondisi fisik dan perjalanan yang melelahkan, sulit memang untuk mengeksplorasi kenyamanan perjalanan. Hal itu tidak terlepas dari laju kendaraan yang seringkali tersendat karena berbagai faktor seperti kondisi jalan yang kurang baik, persimpangan, pasar dan terminal, penduduk yang menyeberang jalan serta berbagai jenis kendaraan melintas di jalan yang sama, termasuk juga kendaraan umum yang berhenti kurang ke pinggir untuk menaikan atau menurunkan penumpang.

Sebelum adanya tol Trans Jawa, jalur Pantura Jawa bisa disebut jalur primadona karena menjadi dianggap sebagai urat nadi lalu lintas orang dan barang.

Memang ada dua moda transportasi lainnya yang bisa digunakan yakni angkutan laut dan kereta api. Namun masyarakat, terutama para pengguna jasa angkutan barang,  sepertinya lebih memilih menggunakan transportasi darat.

Truk dianggap lebih efisien karena barang langsung dikirim ke gudang/toko pemilik barang. Sedangkan jika menggunakan kapal laut atau kereta api harus dua kali proses muat dan bongkar. Itu pun pada akhirnya harus menggunakan angkutan truk juga.

Lalu bagaimana dengan Tol Trans Jawa?




Tol Trans Jawa bisa disebut menjadi primadona baru infrastruktur transportasi Pulau Jawa. Kecepatan waktu tempuh menjadi salah satu keunggulan sarana transportasi ini. Bayangkan saja, perjalanan Jakarta Surabaya yang jika melalui jalur Pantura ditempuh paling cepat 18 jam bahkan lebih, lewat tol Trans Jawa hanya butuh waktu 8 jam sampai 10 jam saja.

Untuk membuktikan kecepatan waktu tempuh itu,  tanggal 15 Januari 2019 atau satu bulan setelah Presiden Jokowi meresmikan beroperasinya tol Trans Jawa, saya pun memulai perjalanan melintasi Tol Trans Jawa.

Sebelumnya, agar mendapatkan informasi yang lebih lengkap, selain mencari referensi melalui internet, saya mendatangi Kantor Pusat Jasa Marga. Saya diterima Humas PT Jasa Marga, Pak Irwansyah, yang tertarik dengan rencana perjalanan saya tersebut. Saya juga menemui Mbak Indah, Humas PT Waskita Karya, serta Mas Adiya, Humas Jasa Marga Properti.

Maksud saya menemui mereka untuk mendapatkan informasi secara langsung mengenai kondisi jalan, tempat istirahat (rest area), dan informasi yang saya butuhkan selama dalam perjalanan.

Berbeda dengan perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 36 jam pergi dan pulang, untuk tol Trans Jawa saya menghabiskan waktu 5 hari. Mungkin ada yang bertanya, lho, tadi katanya lewat tol cuma 8 jam sampai 10 jam saja, kok ini malah lebih lama.

Jawabannya, waktu yang dibutuhkan lebih lama karena saya memang sudah berniat menikmati perjalanan sebaik-baiknya. Karena ya itu tadi, jika hanya melintas saja, waktu yang dibutuhkan dari Jakarta Surabaya melalui tol Trans Jawa hanya  8 jam sampai 10 jam saja.

Alhamdulilah setelah semua persiapan selesai, perjalanan menyusuri  tol Trans Jawa itu bisa juga dilakukan. Banyak sekali catatan pengalaman yang saya peroleh selama menyusurui tol Trans Jawa, mulai dari hari Selasa (15/1/19) sampai dengan Sabtu (19/1/19).

Saya mengawali rute perjalanan  dari gerbang tol Bekasi Timur dan kemudian menyusuri tol Jakarta Cikampek. Agar tidak bolak-balik, dari tol Jakarta Cikampek saya  beralih ke tol Cipularang hingga gerbang terakhir Purbaleunyi. Masuk lagi gerbang tol Cileunyi  menyusuri arah sebaliknya dan langsung menuju tol Cikampek Palimanan (Cipali).

Selanjutnya dari Cipali masuk tol Palimanan Kanci Pejagan. Terus berlanjut menyusuri tol Pejagan Pemalang Batang Semarang menuju Solo.  Dari Solo masuk Ngawi Kertosono kemudian tol Mojokerto Surabaya. Dari Surabaya melintasi tol Sidoarjo Gempol keluar tol Pandaan. Memutar balik menuju Gempol menyusuri tol Pasuruan Probolinggo (Paspro) dan keluar dari gerbang tol Grati.

Seperti disebutkan di atas, ruas tol Trans Jawa sebenarnya masih berlanjut dari Probolinggo hingga Banyuwangi (Probowangi). Dengan demikian, tol Trans Jawa itu nantinya benar-benar dari Merak hingga Banyuwangi.

Perjalanan sebaliknya menempuh rute yang sama. Hanya saja dari Cikampek menuju Jakarta langsung masuk tol Jagorawi, selanjutnya tol Bocimi (Bogor Ciawi Sukabumi).    Dari Bocimi kembali menyusuri Jagorawi menuju tol Merak sampai gerbang terakhir. Selanjutnya kembali ke Jakarta.

Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Probolinggo dan sebaliknya, saya pasti berhenti di setiap rest area. Bukan sekadar urusan mengisi BBM, tapi juga menyambangi warung-warung kuliner yang menjual makanan khas  di tempat tersebut.

 Jika di rest area tidak ada, saya meminta pengemudi untuk keluar gerbang tol untuk mencari kedai yang menjualan makanan khas tersebut. Soalnya bukan sekadar isi perut, tapi kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Targetnya, menikmati perjalanan, sambil berwisata kuliner. Maknyus.

Setelah sarapan nasi uduk Betawi di Jakarta, lanjut makan Soto Sadang di rest Area KM 72 Cipularang. Target berikutnya menikmati makanan khas Cirebon, Sega Jamblang, di rest area KM 228. Hujan yang turun saat masuk tol Pejagan Pemalang membuat pengemudi mengusulkan untuk keluar gerbang tol Tegal. Waktu sudah menunjukan jam 5 sore, berarti sebentar lagi masuk waktu makan maghrib.

Menunaikan salat Maghrib di Masjid Agung Tegal, selanjutnya mencari tempat makan malam dan penginapan untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Kendaraan mengarah ke alun-alun, dan akhirnya menemukan kedai yang menyediakan sop kambing dan sate batibul. Tekstur daging sate batibul lebih lembut dipadu sop kambing yang juga gurih.  

Beres makan malam, mencari angin sambil survei penginapan yang tak terlalu mahal. Alhamdulillah ketemu dekat salah satu Mall di kawasan persimpangan jalur Purwokerto Pemalang. Setelah itu beristirahat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Setelah sarapan pagi dengan nasi, telur dadar, dan sayur nangka, perjalanan berikutnya dimulai dari gerbang tol Tegal, terus berlanjut melewati Pemalang, Pekalongan, Batang hingga Semarang. 

Selanjutnya, Solo menuju tol Ngawi Kertosono kemudian tol Mojokerto Surabaya. Dari Surabaya melintasi tol Sidoarjo Gempol keluar tol Pandaan. Memutar balik menuju Gempol menyusuri tol Pasuruan Probolinggo (Paspro) dan keluar dari gerbang tol Grati.

Seperti disebutkan di atas, jika hanya menyusuri tol, perjalanan bolak-balik mungkin hanya membutuhkan waktu 2 atau 3 hari. Tapi saya memang sengaja banyak berhenti di setiap rest area untuk bertemu dengan pengunjung maupun pihak pengelola.  Konsekuensinya, dalam satu hari hanya bisa menyambangi 5 sampai 6 rest area saja.

Bagi saya, ngobrol-ngobrol dengan pengelola rest area ini penting untuk mengetahui berbagai fasilitas yang tersedia. Misalnya saja luas area lahan, kapasitas parkir untuk kendaraan besar dan kecil, jumlah tenant, brand waralaba, prosentase pedagang UMKM, jumlah dispenser SPBU dan informasi lain yang dibutuhkan para pengguna jalan tol.

Dari ngobrol-ngobrol itu, saya bisa memperoleh nomor-nomor kontak pengelola rest area yang dengan terbuka mengapresiasi perjalanan saya menyusuri tol Trans Jawa. Saya juga berkesampatan ngobrol-ngobrol dengan para pengemudi truk yang beralih dari Pantura ke tol Trans Jawa.

“Enggak kangen sama pelayan warung Pantura, Kang?” tanya saya kepada para pengemudi truk itu. 

Warung Pantura yang saya maksud adalah kedai-kedai tempat berjualan makanan terutama di hampir sepanjang jalan Pantura Jawa Barat. Para pelayan kedai itu biasanya perempuan-perempuan muda berparas manis.

Tak sedikit para pengemudi truk itu yang menjawab dengan hanya tertawa lebar. Sebagian dari mereka beralasan, waktu dan kepastian tiba di tempat tujuan lebih cepat agar bisa beristirahat dan melanjutkan lagi perjalanan.

“Di Pantura padat sekali, juga sering macet. Kalau lewat tol bisa lebih cepat,” jawab mereka.

“Ada saran?” tanya saya seperti petugas Jasa Marga.

“Lampu-lampu penerangan jalan dari Pejagan sampai Semarang minta ditambah lagi biar tidak terlalu gelap kalau malam,” pinta mereka.

“Pom bensin juga ya Kang?” tanya saya kembali bertanya.

Pertanyaan ini saya tanyakan karena waktu itu saya hampir kehabisan bensin setelah rest area Ngawi. Rupanya dari Ngawi sampai Mojokerto nyaris tidak ada pom bensin atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Terpaksa harus keluar di gerbang tol Madiun. Begitu juga arah sebaliknya, rest area belum beroperasi sepenuhnya. Alhasil saya harus keluar gerbang tol Salatiga untuk mengisi bensin.

Khusus tentang rest area ini saya memiliki catatan menarik lainnya. Rupanya para pengelola rest area bisa mengoperasikan di tempat lainnya sepanjang tol Trans Jawa. Misalnya saja pengelola rest area KM A, juga mengoperasikan rest area di KM G, KM Y, dan seterusnya.

Dari sisi pengunjung, rest area-rest area di sepanjang Tol Merak sampai Cirebon atau sebaliknya, relatif lebih ramai, dengan berbagai tenant dari sejumlah waralaba terkenal. Di bagian timur, rest area yang fasilitasnya sama dengan di wilayah barat terdapat di rest area KM 429 dan KM 512.

Tapi yang lebih menarik, para pengelola rest area di kawasan tengah dan timur sudah mengakomodir para pengusaha UMKM. Bahkan ada rest area yang 100% diisi pengusaha UMKM.

Secara umum, keberadaan tol Trans Jawa yang tidak terputus dari Merak sampai Probolinggo, dan selanjutnya Banyuwangi bisa disebut sebagai sebuah revolusi infrastruktur di jalur paling vital Indonesia.

Jika sebelumnya, berbagai kendaraan menumpuk di jalur Pantura, sejak tol Trans Jawa beroperasi, pengguna jalan memiliki pilihan yang jauh lebih efektif dan juga efisien.

Keberadaan tol Trans Jawa membuat kawasan-kawasan sepanjang tol bergeliat. Yang sudah terbukti, pengusaha-pengusaha skala UMKM yang kini bisa memasarkan produk-produknya di rest area sepanjang tol tersebut. Belum lagi para pedagang makanan dan minuman khas daerah masing-masing.

Dalam skala yang lebih besar, dalam waktu yang tidak lama lagi, pengusaha tentu tidak akan ragu untuk berinvestasi di kawasan-kawasan area tol (hinterland). Perumahan, kawasan industri, maupun tempat hiburan akan tumbuh dengan pesat.

Dampak positifnya terciptanya lapangan kerja di daerah tersebut sehingga mengurangi pengangguran dan arus urbanisasi ke kota besar seperti Jakarta, Semarang ataupun Surabaya.

Begitu juga dengan industri pariwisata yang bisa tumbuh lebih cepat dengan adanya akses tol tersebut. Pengelola angkutan pariwisata sudah pasti menganggap keberadaan tol Trans Jawa sebagai sebuah peluang bisnis yang sangat besar.

Begitu pun Pemerintah-pemerintah daerah yang dilalui tol Trans Jawa memiliki kesempatan membuat iklan-iklan kreatif menawarkan keunggulan wisata mulai dari kuliner, gunung/pantai, religi, dan lain-lain.

 Iklan-iklan dalam bentuk reklame luar ruang tersebut bisa dipajang di sepanjang jalan tol. Banyaknya pengguna jalan yang tertarik untuk berkunjung ke kawasan wisata tentunya berdampak positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan beberapa waktu lalu bahkan menerbitkan sebuah buku katalog tentang peta kuliner di sepanjang tol Trans Jawa. Mulai dari Cilegon yang terkenal dengan kuliner khas Ayam Bekakak dan Nasi Gonjleng. Selanjutnya Sate Bandeng dan Nasi Sumsum (Serang), Pepes Jambal (Karawang).

Cirebon dengan kuliner khas seperti Empal Gentong, Sega Jamblang, dan Nasi Lengko, kemudian Sate Blengong dan Kupat Glabed (Brebes), atau Tegal yang memiliki tradisi minum teh (moci), Sate Batibul, juga Pemalang dengan Nasi Grombyang, Sate Loso. Pekalongan dan Batang masing-masing Nasi Megono dan Lontong Lemprak.

Berlanjut ke timur (Semarang dan Solo) dengan kuliner sate kambing dengan rasa khas masing-masing, dan  Timlo Solo. Atau pecel khas Ngawi, atau Soto Surabaya, dan tentunya masih banyak lagi makanan khas di daerah-daerah tersebut. Makanan atau minuman tersebut tentu mengundang rasa penasaran para pengunjung.

Belum lagi jika bicara kawasan-kawasan wisata sepanjang tol Trans Jawa baik utara (pantai) maupun selatan (pegunungan) dengan berbagai keunggulan panoramanya, begitu pun wisata religi di sekitar kawasan tersebut yang tentunya memberi nilai tambah.

Muara dari semuanya adalah meningkatnya perekonomian masyarakat baik karena adanya investasi yang membuka lapangan kerja maupun kawasan-kawasan wisata yang menjadi lebih ramai. Di sisi lain, keberadaan tol Trans Jawa juga mengurangi kepadatan lalu lintas secara signifikan di sepanjang jalur Pantura.

Berkurangnya kepadatan lalu lintas tentu akan meningkatkan kenyamanan dankeselamatan para pengguna jalan. Begitu juga dengan biaya perawatan jalan Pantura yang tentunya bisa menurun secara drastis.

Dengan demikian, sebagai sarana transportasi, tol Trans Jawa dan jalur Pantura sejatinya memiliki keunggulan yang saling melengkapi, bukan meniadakan satu sama lain. Kedua jalur tersebut membuat konektivitas antarwilayah menjadi lebih kuat lagi.

Pada gilirannya hal ini memicu aktivitas ekonomi yang akan berdampak pada pertumbuhan secara berkelanjutan sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada gilirannya menjadikan Indonesia maju bersama.***