Kamis, 19 September 2019

Maut mengintai Para Bikers


KABAR dari Ibukota sungguh tak sedap. Dalam satu tahun terakhir ratusan orang pengendara sepeda motor tewas (bikers) kecelakaan di jalan raya Ibukota. Bahkan Jumat lalu, sedikitnya lima orang tewas serupa. Kita tidak tahu berapa angka kecelakaan berat dan ringan, namun angka-angka ini sungguh memprihatinkan.

Harus diakui kini kendaraan sepeda motor benar-benar menyemut. Selain irit, cepat/nyaris tak kena macet, dan praktis.  Sayangnya “semut-semut” bermesin tidak mampu tertib seperti semut sungguhan. Terlalu banyak pengendara motor yang tergolong "setan jalanan". Yakni pengendara yang gemar main kebut, main salip, main serobot, dan main menang sendiri, tanpa menghiraukan sopan santun di jalan raya.

Adalah benar bahwa mereka sendiri yang punya nyawa namun ulah ugal-ugalan di jalan raya jelas mudah mengundang bahaya bagi orang atau pengendara lain. Keadaan itu masih ditambah oleh suasana jalan yang macet, tak sabar antri, bahkan demikian mudahnya orang menyerobot jalan yang berlawanan arah.

Suasana tersebut selalu terjadi pada jam sibuk, sampai petugas lalu-lintas mengalah memberi jalan yang berlawanan arah. Tiap pagi jalan raya Bekasi sejak pasar Cakung hingga pertigaan pabrik besi beton CS, seluruh badan jalan ke arah Bekasi dikuasai penuh oleh pengendara yang menuju Pulogadung.

Yang kita lihat adalah manusia Ibukota yang kekanak-kanakan atau tak bersikap dewasa ketika menghadapi masalah bersama. Manusia-manusia egois yang tidak taat dan tertib berlalu-lintas. Manusia-manusia yang kehilangan kesabaran, meski di bulan puasa, bahkan manusia yang sepertinya tidak mau belajar tentang nasib buruk dari kecelakaan di jalan raya.

Jakarta memang layak mendapat sebutan kampung besar karena penduduk atau orang yang bekerja di Ibukota banyak yang "kampungan", tidak mencerminkan insan terpelajar yang santun, tidak menghargai ketertiban umum dan kesalehan publik. Rasanya memang Jakarta terlalu sumpek, terlalu ramai dan tidak ideal lagi untuk menjadi ibukota negara karena apa artinya menjadi pusat negara dengan para pejabat tingginya yang dikelilingi oleh manusia-manusia yang tidak menjunjung tata-tertib.

Jika para petinggi negeri ini tidak malu dengan masyarakat yang urakan itu berarti nilai moral yang luhur memang tidak lagi laku “dijual”. Namun ini mungkin paralel dengan kasus kejahatan korupsi yang tentu beranjak dari penyelewengan tertib administrasi dan manajemen. Mungkin semua masalah akhirnya kembali pada diri kita masing-masing, karena jalanan di Ibukota nampaknya juga memang sudah tidak mampu lagi menampung panjang kendaraaan.

Yang terasa menjadi konyol adalah seberapa pun orang mencoba berhati-hati di jalan, namun jika banyak pengendara yang ugal-ugalan jelas yang berhati-hati malah bisa menjadi korban pula.

Di sisi lain, kita tahu petugas pengantur lalu-lintas meski dibantu aparat swasta juga kewalahan. Penertiban pengendara motor sulit pula membantu mengatasi masalah. Lantaran persoalannya mendesak, ada baiknya ada petugas gabungan yang berwibawa untuk menjaga tertib lalu-lintas.
Menjelang mudik lebaran yang jelas jutaan kendaraan roda dua akan meramaikan pulau Jawa, kita hanya ingin berpesan agar kita semua mejunjung tata tertib demi keselamatan bersama. Demi sesama.***

Senin, 16 September 2019

Menebarkan ‘Virus’ Kepemimpinan yang Amanah


Tokoh ulama KH Solahudin Wahid (Gus Solah) pernah mengakui mengakui dirinya bersemangat untuk menyebarkan "virus" pemimpin amanah.

"Amanah itu sama dengan integritas, kepercayaan publik terhadap si pemimpin ini,” kata mantan wakil ketua Komnas HAM itu.

Adik kandung almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, mematok syarat untuk menuju amanah adalah transparansi, kejujuran, berani, bertanggung jawab, dan juga berkarakter.

"Tanggung jawab pemimpin itu seperti William Suryajaya (boss Astra) yang rela menjual sahamnya untuk menutup kebangkrutan perusahaan sang anak, sehingga dia menjadikan sahamnya yang sangat kecil. Tapi itulah tanggung jawab,” katanya menegaskan.

Mantan ketua Tanfidziyah PBNU itu mengemukakan, kejujuran juga merupakan syarat yang tak bisa ditawar.

"Jujur itu mata uang di dunia dan akhirat. Kalau syarat tambahan adalah percaya diri, adil, komunikatif, punya visi, kepedulian, ketegasan, ketekunan, semangat, kedisplinan, hemat, keiklasan, dan `punctuality` (ketepatan perhitungan),” katanya.

Tapi, kata cucu pendiri NU Hadratusyeikh KHM Hasyim Asy‘ari itu, para ahli genetika percaya bahwa para pemimpin harus mempunyai gen O.

"Gen yang diyakini membawa sifat `open mind` itu adalah selalu mempunyai minat, terbuka terhadap hal-hal baru, kritis, fleksibel, dan menyukai orisinalitas,” katanya.

Kita tidak hendak berdebat tentang kriteria pemimpin yang amanah karena tiap orang akan beda sikap dan pemikirannnya selaras dengan pengalaman hidup yang dialami. Meski demikian kita sepakat ada kriteria umum yang berlaku universal meski sebagai agamawan tentu Gus Solah juga tahu betul spesifikasinya.

Nampaknya Gus Solah memang bicara soal kepemimpinan umum di berbagai strata kehidupan masyarakat maupun kenegaraan. Kita sepakat bahwa kejujuran adalah modal untuk melangkah pada sifat dan sikap amanah. Jika manusia indonesia itu jujur, maka ia akan adil dan pintar.

Kita katakan jujur modal kepintaran karena jujur membawa orang pada sikap netral yang pemikirannya tidak akan bias. Pemikiran yang tidak bias akan mengatar orang berpikir lurus dan adil, tidak mencla-mencle dan terutama tidak akan berbuat nakal atau jahat. Sebab, setiap perbuatan jahat atau nakal pasti perbuatan tidak adil, tumbuh dari hati yang keruh, dan tidak toleran pada sesama. Ini bukan perbuatan pintar tapi licik.

Jika saja dunia pendidikan di Indonesia berhasil menanamkan sifat jujur sebagai pegangan hidup, tentu negeri kita tidak penuh koruptor, ataus orang yang tidak jujur dan tidak santun menghormati sesama, alias rakus dan menghalalkan segala cara.

Kita titip pesan pada Gus Solah agar ia juga terus menyebarkan virus hidup santun, apalagi bagi pemimpin sehingga makin banyak orang terpelajar makin santun kehidupan masyarakat kita, tidak malah makin banyak koruptor.***

Selasa, 03 September 2019

Belajar dari Kasus GM: Bekerjasamalah, bukan melawan manajemen!


Kisah berikut ini tentang bagaimana hubungan yang seharusnya dibangun antara manajemen dan pekerja.

SELAMA tiga dekade, pabrik mobil di Lordstown, negara bagian Ohio, AS, menjadi sumber masalah yang tak habis-habisnya bagi General Motor (GM).

Pada 1970-an, sekitar 7.000 pekerja pabrik melakukan perlawanan terhadap manajemen perusahaan sehingga ribuan mobil Chevrolet Vegas diproduksi dengan berbagai kerusakan. Sikap permusuhan itu akhirnya memicu aksi mogok kerja selama 22 hari pada 1972 yang menyebabkan GM merugi sekitar 150 juta dolar AS dan istilah “sindrom Lordstown” menjadi ciri khas untuk menggambarkan pembangkangan para pekerja pabrik Amerika ini.

Bahkan sekalipun tidak ada sabotase sama sekali, produk mobil keluaran pabrik Lordstown berkualitas rendah. Tak heran bila GM berniat meninggalkan pabrik di Lordstown, karena banyak terjadi aksi mogok, pada tahun 2002.

Namun pabrik ini sampai kini tetap bertahan, sekalipun lusinan pabrik mobil lainnya tak mampu bertahan. Kini, pabrik ini sedang bersiap-siap untuk memproduksi mobil jenis kompak yang baru, Chevrolet Cruze, yang mana integral dengan harapan GM untuk menjadi perusahaan mobil yang sukses kembali.

Para pemimpin Persatuan Serikat Pekerja Otomobil, United Automobile Workers (UAW) di Lordstown, Detroit, dan kota-kota lain dimana berbagai aksi protes dan bentrokan dengan manajemen perusahaan dulunya begitu santer terjadi, menegaskan bahwa satu-satunya harapan mereka untuk tetap bertahan hidup dalam ekonomi global adalah bekerja sama dengan, dan bukannya melawan, manajemen perusahaan.

Sekalipun banyak orang menyalahkan serikat pekerja itu karena ikut menyeret produsen mobil Detroit, perjuangan perusahaan telah mengubah UAW menjadi salah satu sekutu terkuat mereka. Bahkan kini sikap kooperatif mulai terlihat di kalangan pekerja di Lordstown.

Pada 1980-an, anggota Local 1112, cabang UAW di Lordstown, begitu menentang kebijakan konsesi. Tapi pada 2008, GM hanya menemui sedikit kendala dalam membujuk mereka untuk menyetujui sebuah kesepakatan operasional yang kompetitif yang mengurangi jumlah klasifikasi kerja dan membolehkan beberapa jenis pekerjaan dijadikan outsourcing, persyaratan yang biasanya memicu penentangan.

Pada Mei tahun lalu, ketika GM nyaris bangkrut dan meminta pekerja untuk pemberian konsesi buruh senilai total ratusan juta dolar, 84 persen pekerja di Local 1112 memilih kesepakatan itu.
Satu hal pasti, para pekerja merasa bersyukur karena masih bisa memperoleh cek pembayaran di Ohio setelah pabrik memutuskan hubungan kerja hampir 300.000 pekerja sektor manufaktur sejak tahun 2000. Padahal kondisi perekonomian sudah buruk di lingkungan kelas pekerja lebih dari 25 tahun lalu.

Para pemimpin serikat buruh sepakat bahwa hubungan yang antagonis jelas tidak akan menguntungkan kedua pihak.  “Setiap orang sadar bahwa manajemen bukanlah musuh dan serikat bukanlah musuh,” ujar Jim Graham, ketua cabang Local 1112. 

“Musuh kita adalah kompetisi asing. Kita bekerja jauh lebih baik dengan manajemen ketimbang yang kita alami sebelumnya. Memang masih ada beberapa kendala, tapi kita berusaha mencari jalan keluar.”

Jumlah keluhan yang diajukan terhadap GM oleh anggota Local 1112 menurun 90 persen dari hari-hari penuh permusuhan pada tahun 1970-an, ketika ada sekitar 15.000 keluhan setiap tahun.
Masalah tentang ketidakhadiran dan banyak klaim kompensasi pekerja sudah dapat diselesaikan sejak lama dan Lordstown menjadi salah satu pabrik GM paling produktif dan efisien.

Pabrik ini memulai operasinya tahun 2008 dengan dua shift (giliran) kemudian memberlakukan shift ketiga ketika tingginya harga minyak meningkatkan permintaan konsumen akan jenis mobil berukuran lebih kecil seperti Chevrolet Cobalt yang kini diproduksi. Pabrik kembali memberlakukan dua shift pada Januari lalu dan satu lagi pada April lalu saat GM nyaris bangkrut.

Shift kedua diberlakukan lagi pada musim gugur dan pejabat Local 1112 berharap diberlakukannya shift ketiga pada pertengahan tahun ini ketika produksi Cruze dimulai.
Sementara itu, semua anggota UAW tidak lagi menuntut kenaikan upah dan bonus serta berbagai pengorbanan lain yang mungkin tak pernah terpikirkan pada tahun 1972. Persyaratan penghematan biaya dalam kontrak 2007 lalu berarti karyawan yang baru direkrut atau karyawan sementara untuk pekerjaan pada shift ketiga berpenghasilan separuh dari upah yang diterima karyawan lain sekalipun melakukan pekerjaan yang sama.

GM juga meminta para pekerja pabrik untuk membantu menyukseskan peluncuran mobil Cruze dengan kualitas produk yang tinggi. “Para pekerja mengalami tekanan yang tinggi karena Cruze dianggap sebagai penyelamat General Motor, “tandas John Russo, direktur Center for Working-Class Studies di Youngstown State University.

Saat ini jumlah pekerja di kompleks pabrik GM di Lordstown mencapai 3.000 orang. Pabrik ini dibuka sejak 1966, dan termasuk pabrik di sebelahnya yang diwakili oleh Local 1714. Jumlah pekerja ini sekitar seperempatnya dari jumlah pekerja pada masa puncak produksi mobil tahun 1987.

Banyak pekerja yang sudah lama bekerja merasa senang karena hari-hari mereka kini terasa lebih damai. Mereka merasa mengemban tanggung jawab untuk menerima berbagai pengorbanan yang dibutuhkan perusahaan dari mereka.

“Mereka sekarang tidak menuntut terlalu banyak dari kami,” ujar Diane Hoops, yang bekerja di Lordstown selama 30 tahun dan suaminya telah pensiun dari pabrik itu. Perjuangan yang konstan selama bertahun-tahun di masa lalu telah menyulitkan mereka untuk bekerja setiap hari.
Kembali ke jaman aksi mogok, protes dan penuh bahaya jelas sudah tidak mungkin lagi karena alasan keamanan pekerjaan yang kini menjadi kekhawatiran utama para pekerja.

“Ketika GM memiliki persentasi pasar yang besar, ketakutan kami belum ada. Kini, Anda harus lebih hati-hati karena masa jaya itu telah pergi. Kami ingin GM bisa sukses. Kami ingin UAW juga sukses. Kesuksesan keduanya menciptakan keamanan,” papar Ben Strickland, ketua toko untuk Local 1112. (tst/meidia)