Kisah
berikut ini tentang bagaimana hubungan yang seharusnya dibangun antara
manajemen dan pekerja.
SELAMA tiga
dekade, pabrik mobil di Lordstown, negara bagian Ohio, AS, menjadi sumber
masalah yang tak habis-habisnya bagi General Motor (GM).
Pada
1970-an, sekitar 7.000 pekerja pabrik melakukan perlawanan terhadap manajemen
perusahaan sehingga ribuan mobil Chevrolet Vegas diproduksi dengan berbagai
kerusakan. Sikap permusuhan itu akhirnya memicu aksi mogok kerja selama 22 hari
pada 1972 yang menyebabkan GM merugi sekitar 150 juta dolar AS dan istilah
“sindrom Lordstown” menjadi ciri khas untuk menggambarkan pembangkangan para
pekerja pabrik Amerika ini.
Bahkan
sekalipun tidak ada sabotase sama sekali, produk mobil keluaran pabrik
Lordstown berkualitas rendah. Tak heran bila GM berniat meninggalkan pabrik di
Lordstown, karena banyak terjadi aksi mogok, pada tahun 2002.
Namun pabrik
ini sampai kini tetap bertahan, sekalipun lusinan pabrik mobil lainnya tak
mampu bertahan. Kini, pabrik ini sedang bersiap-siap untuk memproduksi mobil
jenis kompak yang baru, Chevrolet Cruze, yang mana integral dengan harapan GM
untuk menjadi perusahaan mobil yang sukses kembali.
Para
pemimpin Persatuan Serikat Pekerja Otomobil, United Automobile Workers (UAW) di
Lordstown, Detroit, dan kota-kota lain dimana berbagai aksi protes dan
bentrokan dengan manajemen perusahaan dulunya begitu santer terjadi, menegaskan
bahwa satu-satunya harapan mereka untuk tetap bertahan hidup dalam ekonomi
global adalah bekerja sama dengan, dan bukannya melawan, manajemen perusahaan.
Sekalipun
banyak orang menyalahkan serikat pekerja itu karena ikut menyeret produsen
mobil Detroit, perjuangan perusahaan telah mengubah UAW menjadi salah satu
sekutu terkuat mereka. Bahkan kini sikap kooperatif mulai terlihat di kalangan
pekerja di Lordstown.
Pada
1980-an, anggota Local 1112, cabang UAW di Lordstown, begitu menentang
kebijakan konsesi. Tapi pada 2008, GM hanya menemui sedikit kendala dalam
membujuk mereka untuk menyetujui sebuah kesepakatan operasional yang kompetitif
yang mengurangi jumlah klasifikasi kerja dan membolehkan beberapa jenis
pekerjaan dijadikan outsourcing, persyaratan yang biasanya memicu penentangan.
Pada Mei
tahun lalu, ketika GM nyaris bangkrut dan meminta pekerja untuk pemberian
konsesi buruh senilai total ratusan juta dolar, 84 persen pekerja di Local 1112
memilih kesepakatan itu.
Satu hal
pasti, para pekerja merasa bersyukur karena masih bisa memperoleh cek
pembayaran di Ohio setelah pabrik memutuskan hubungan kerja hampir 300.000
pekerja sektor manufaktur sejak tahun 2000. Padahal kondisi perekonomian sudah
buruk di lingkungan kelas pekerja lebih dari 25 tahun lalu.
Para
pemimpin serikat buruh sepakat bahwa hubungan yang antagonis jelas tidak akan
menguntungkan kedua pihak. “Setiap orang sadar bahwa manajemen bukanlah musuh
dan serikat bukanlah musuh,” ujar Jim Graham, ketua cabang Local 1112.
“Musuh kita
adalah kompetisi asing. Kita bekerja jauh lebih baik dengan manajemen ketimbang
yang kita alami sebelumnya. Memang masih ada beberapa kendala, tapi kita
berusaha mencari jalan keluar.”
Jumlah
keluhan yang diajukan terhadap GM oleh anggota Local 1112 menurun 90 persen
dari hari-hari penuh permusuhan pada tahun 1970-an, ketika ada sekitar 15.000
keluhan setiap tahun.
Masalah
tentang ketidakhadiran dan banyak klaim kompensasi pekerja sudah dapat
diselesaikan sejak lama dan Lordstown menjadi salah satu pabrik GM paling
produktif dan efisien.
Pabrik ini
memulai operasinya tahun 2008 dengan dua shift (giliran) kemudian memberlakukan
shift ketiga ketika tingginya harga minyak meningkatkan permintaan konsumen
akan jenis mobil berukuran lebih kecil seperti Chevrolet Cobalt yang kini
diproduksi. Pabrik kembali memberlakukan dua shift pada Januari lalu dan satu
lagi pada April lalu saat GM nyaris bangkrut.
Shift kedua
diberlakukan lagi pada musim gugur dan pejabat Local 1112 berharap
diberlakukannya shift ketiga pada pertengahan tahun ini ketika produksi Cruze
dimulai.
Sementara
itu, semua anggota UAW tidak lagi menuntut kenaikan upah dan bonus serta
berbagai pengorbanan lain yang mungkin tak pernah terpikirkan pada tahun 1972.
Persyaratan penghematan biaya dalam kontrak 2007 lalu berarti karyawan yang
baru direkrut atau karyawan sementara untuk pekerjaan pada shift ketiga
berpenghasilan separuh dari upah yang diterima karyawan lain sekalipun
melakukan pekerjaan yang sama.
GM juga
meminta para pekerja pabrik untuk membantu menyukseskan peluncuran mobil Cruze
dengan kualitas produk yang tinggi. “Para pekerja mengalami tekanan yang tinggi
karena Cruze dianggap sebagai penyelamat General Motor, “tandas John Russo,
direktur Center for Working-Class Studies di Youngstown State University.
Saat ini
jumlah pekerja di kompleks pabrik GM di Lordstown mencapai 3.000 orang. Pabrik
ini dibuka sejak 1966, dan termasuk pabrik di sebelahnya yang diwakili oleh
Local 1714. Jumlah pekerja ini sekitar seperempatnya dari jumlah pekerja pada
masa puncak produksi mobil tahun 1987.
Banyak
pekerja yang sudah lama bekerja merasa senang karena hari-hari mereka kini
terasa lebih damai. Mereka merasa mengemban tanggung jawab untuk menerima
berbagai pengorbanan yang dibutuhkan perusahaan dari mereka.
“Mereka
sekarang tidak menuntut terlalu banyak dari kami,” ujar Diane Hoops, yang
bekerja di Lordstown selama 30 tahun dan suaminya telah pensiun dari pabrik
itu. Perjuangan yang konstan selama bertahun-tahun di masa lalu telah
menyulitkan mereka untuk bekerja setiap hari.
Kembali ke
jaman aksi mogok, protes dan penuh bahaya jelas sudah tidak mungkin lagi karena
alasan keamanan pekerjaan yang kini menjadi kekhawatiran utama para pekerja.
“Ketika GM
memiliki persentasi pasar yang besar, ketakutan kami belum ada. Kini, Anda
harus lebih hati-hati karena masa jaya itu telah pergi. Kami ingin GM bisa
sukses. Kami ingin UAW juga sukses. Kesuksesan keduanya menciptakan keamanan,”
papar Ben Strickland, ketua toko untuk Local 1112. (tst/meidia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar