Selasa, 03 September 2019

Belajar dari Kasus GM: Bekerjasamalah, bukan melawan manajemen!


Kisah berikut ini tentang bagaimana hubungan yang seharusnya dibangun antara manajemen dan pekerja.

SELAMA tiga dekade, pabrik mobil di Lordstown, negara bagian Ohio, AS, menjadi sumber masalah yang tak habis-habisnya bagi General Motor (GM).

Pada 1970-an, sekitar 7.000 pekerja pabrik melakukan perlawanan terhadap manajemen perusahaan sehingga ribuan mobil Chevrolet Vegas diproduksi dengan berbagai kerusakan. Sikap permusuhan itu akhirnya memicu aksi mogok kerja selama 22 hari pada 1972 yang menyebabkan GM merugi sekitar 150 juta dolar AS dan istilah “sindrom Lordstown” menjadi ciri khas untuk menggambarkan pembangkangan para pekerja pabrik Amerika ini.

Bahkan sekalipun tidak ada sabotase sama sekali, produk mobil keluaran pabrik Lordstown berkualitas rendah. Tak heran bila GM berniat meninggalkan pabrik di Lordstown, karena banyak terjadi aksi mogok, pada tahun 2002.

Namun pabrik ini sampai kini tetap bertahan, sekalipun lusinan pabrik mobil lainnya tak mampu bertahan. Kini, pabrik ini sedang bersiap-siap untuk memproduksi mobil jenis kompak yang baru, Chevrolet Cruze, yang mana integral dengan harapan GM untuk menjadi perusahaan mobil yang sukses kembali.

Para pemimpin Persatuan Serikat Pekerja Otomobil, United Automobile Workers (UAW) di Lordstown, Detroit, dan kota-kota lain dimana berbagai aksi protes dan bentrokan dengan manajemen perusahaan dulunya begitu santer terjadi, menegaskan bahwa satu-satunya harapan mereka untuk tetap bertahan hidup dalam ekonomi global adalah bekerja sama dengan, dan bukannya melawan, manajemen perusahaan.

Sekalipun banyak orang menyalahkan serikat pekerja itu karena ikut menyeret produsen mobil Detroit, perjuangan perusahaan telah mengubah UAW menjadi salah satu sekutu terkuat mereka. Bahkan kini sikap kooperatif mulai terlihat di kalangan pekerja di Lordstown.

Pada 1980-an, anggota Local 1112, cabang UAW di Lordstown, begitu menentang kebijakan konsesi. Tapi pada 2008, GM hanya menemui sedikit kendala dalam membujuk mereka untuk menyetujui sebuah kesepakatan operasional yang kompetitif yang mengurangi jumlah klasifikasi kerja dan membolehkan beberapa jenis pekerjaan dijadikan outsourcing, persyaratan yang biasanya memicu penentangan.

Pada Mei tahun lalu, ketika GM nyaris bangkrut dan meminta pekerja untuk pemberian konsesi buruh senilai total ratusan juta dolar, 84 persen pekerja di Local 1112 memilih kesepakatan itu.
Satu hal pasti, para pekerja merasa bersyukur karena masih bisa memperoleh cek pembayaran di Ohio setelah pabrik memutuskan hubungan kerja hampir 300.000 pekerja sektor manufaktur sejak tahun 2000. Padahal kondisi perekonomian sudah buruk di lingkungan kelas pekerja lebih dari 25 tahun lalu.

Para pemimpin serikat buruh sepakat bahwa hubungan yang antagonis jelas tidak akan menguntungkan kedua pihak.  “Setiap orang sadar bahwa manajemen bukanlah musuh dan serikat bukanlah musuh,” ujar Jim Graham, ketua cabang Local 1112. 

“Musuh kita adalah kompetisi asing. Kita bekerja jauh lebih baik dengan manajemen ketimbang yang kita alami sebelumnya. Memang masih ada beberapa kendala, tapi kita berusaha mencari jalan keluar.”

Jumlah keluhan yang diajukan terhadap GM oleh anggota Local 1112 menurun 90 persen dari hari-hari penuh permusuhan pada tahun 1970-an, ketika ada sekitar 15.000 keluhan setiap tahun.
Masalah tentang ketidakhadiran dan banyak klaim kompensasi pekerja sudah dapat diselesaikan sejak lama dan Lordstown menjadi salah satu pabrik GM paling produktif dan efisien.

Pabrik ini memulai operasinya tahun 2008 dengan dua shift (giliran) kemudian memberlakukan shift ketiga ketika tingginya harga minyak meningkatkan permintaan konsumen akan jenis mobil berukuran lebih kecil seperti Chevrolet Cobalt yang kini diproduksi. Pabrik kembali memberlakukan dua shift pada Januari lalu dan satu lagi pada April lalu saat GM nyaris bangkrut.

Shift kedua diberlakukan lagi pada musim gugur dan pejabat Local 1112 berharap diberlakukannya shift ketiga pada pertengahan tahun ini ketika produksi Cruze dimulai.
Sementara itu, semua anggota UAW tidak lagi menuntut kenaikan upah dan bonus serta berbagai pengorbanan lain yang mungkin tak pernah terpikirkan pada tahun 1972. Persyaratan penghematan biaya dalam kontrak 2007 lalu berarti karyawan yang baru direkrut atau karyawan sementara untuk pekerjaan pada shift ketiga berpenghasilan separuh dari upah yang diterima karyawan lain sekalipun melakukan pekerjaan yang sama.

GM juga meminta para pekerja pabrik untuk membantu menyukseskan peluncuran mobil Cruze dengan kualitas produk yang tinggi. “Para pekerja mengalami tekanan yang tinggi karena Cruze dianggap sebagai penyelamat General Motor, “tandas John Russo, direktur Center for Working-Class Studies di Youngstown State University.

Saat ini jumlah pekerja di kompleks pabrik GM di Lordstown mencapai 3.000 orang. Pabrik ini dibuka sejak 1966, dan termasuk pabrik di sebelahnya yang diwakili oleh Local 1714. Jumlah pekerja ini sekitar seperempatnya dari jumlah pekerja pada masa puncak produksi mobil tahun 1987.

Banyak pekerja yang sudah lama bekerja merasa senang karena hari-hari mereka kini terasa lebih damai. Mereka merasa mengemban tanggung jawab untuk menerima berbagai pengorbanan yang dibutuhkan perusahaan dari mereka.

“Mereka sekarang tidak menuntut terlalu banyak dari kami,” ujar Diane Hoops, yang bekerja di Lordstown selama 30 tahun dan suaminya telah pensiun dari pabrik itu. Perjuangan yang konstan selama bertahun-tahun di masa lalu telah menyulitkan mereka untuk bekerja setiap hari.
Kembali ke jaman aksi mogok, protes dan penuh bahaya jelas sudah tidak mungkin lagi karena alasan keamanan pekerjaan yang kini menjadi kekhawatiran utama para pekerja.

“Ketika GM memiliki persentasi pasar yang besar, ketakutan kami belum ada. Kini, Anda harus lebih hati-hati karena masa jaya itu telah pergi. Kami ingin GM bisa sukses. Kami ingin UAW juga sukses. Kesuksesan keduanya menciptakan keamanan,” papar Ben Strickland, ketua toko untuk Local 1112. (tst/meidia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar