Senin, 06 Mei 2019

MDG's dan 81 Tahun Haryono Suyono


SOLIDITAS suatu komunitas terletak pada semangat/gairah tiap anggota dalam memahami visi dan missi secara utuh yang terbangun bersama sehingga mampu menghadirkan gerak atau tindakan yang sinerji dan terintegrasi.  Komunitas demikian lazimnya lahir karena terbina dan dimotivasi dengan cermat, terus-menerus, dan ada pemeliharaan rutin oleh sang motivator. Biasanya komunitas seperti ini memiliki pemahaman yang mendalam atas tujuannya, paling tidak mereka tahu apa manfaat yang bisa diraih dalam kebersamaan tersebut.

Komunitas ini bisa berbentuk atau ternaung dalam kelembagaan seperti partai politik, institusi, atau organisasi umum lainnya. Pada komunitas yang terorganisir seperti ini, biasanya mudah dalam menanamkan visi dan misinya yang lazim kita kenal sebagai pengkaderan. Makin baik pengkaderannya, makin militan pula anggotanya. Namun jika komunitas itu nyaris tidak berbentuk kecuali bentuknya adalah masyarakat umum yang majemuk latar belakangnya, maka bisa kita bayangkan betapa berat kerja yang motivator. Sebab, ia harus mampu menanamkan isme atau ideologi pada banyak orang yang serba asing isi kepalanya.

Kerja berat itu tokh harus dilakukan oleh para motivator alias penjaja program, juru kampanye,  atau penyuluh masyarakat. Meski petugasnya ribuan orang, tokh jarang sekali ada tokoh yang berhasil dengan gemilang menjadi motivator. Namun yang langka itu ada. Salah satunya adalah Prof Dr Haryono Suyono. Ia demikian sukses menjadi penjaja sekaligus penggerak program keluarga berencana nasional (program pemerintah). Diakui atau tidak, Haryono merupakan ikon motivator ulung sekaligus ikon pemandu gerakan di Indonesia.

Paling tidak kita tidak menemukan orang lain yang setara. Jika kita bicara KB, orang pasti ingat Haryono Suyono. Bisa jadi bicara lingkungan hidup orang akan ingat Emil Salim, namun kita masih dibayangi ingatan pada Kalpataru, Mapala, Pecinta Lingkungan, Ully Sigar, dll yang membuat kita tidak berpikir pada satu titik fokus.

Kita tidak hendak membicarakan sukses KB dengan aneka pemahamannya, namun kita ingin mengajak untuk menyibak sisi-sisi menarik, trik atau strategi, dan daya pikat dari kisah sukses sang motivator yang kini berulang tahun ke-81 pada 6 Mei 2008. Sebab, Haryono memiliki kemampuan mengintegrasikan praktek politik, pemerintahan, manajemen umum, maupun menggerakkan orang banyak secara terencana dan terjaga dalam bingkai misinya dalam kurun waktu yang panjang. Apalagi  Haryono tidak berhenti di titik pembudayaan KB/NKKBS, kini ia malah melanjutkan dengan memandirikan orang dengan Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga Sejahtera) bersama Yayasan Damandiri (lembaga swasta).   

Setidaknya kita tidak ragu untuk mengakui Haryono sebagai politisi, negarawan, manajer, dan penggerak massayang sulit tertandingi. Sisi inilah yang coba kita terlusur meski kita berharap malah orang ilmuwan yang tertarik untuk merangkum aktivitasnya sebagai ilmu yang menunjang aneka perogram kerja di pemerintahan, perusahaan/kerajaan bisnis, dan aneka "penjinakan" publik. 
Sebuah sisi yang paling kentara adalah kemampuan Haryono dalam merayu massa. Ia perayu ulung wanita karena faktanya pengikut KB lebih dominan didukung oleh keikutsertaan kaum ibu. Rasa-rasanya kaum wanita Indonesia tak pernah kehilangan rasa "gemes" pada Haryono. 

Tidak saja dalam Safari KB, kini lewat perannya sebagai agen Millenium Development Goals (MDGS) yang berperan untuk memberdayakan keluarga agar sejahtera, hadirin atau persertanya juga didominasi wanita.  Ia tidak saja piwai menterjemahkan pemikiran strategis  pada kehidupan orang banyak, ia juga sutradara yang gilang gemilang melakonkan orang banyak untuk berpikir, bertindak, dan menuju perubahan hidup secara gotong royong, terencana, dan begitu santun memeliharan dan mengantar pesertanya sampai ke gerbang perubahan kehidupan masyarakat yang sarat harapan.
Kita ingat betapa di tahun 1970-an Jakarta (apalagi provinsi lain), masyarakatnya hasih kental dengan budaya tradisional. Khalayak masih tabu bicara blak-blakan soal seks, apalagi kaum wanitanya. Tokh seorang Haryono muncul menjadi agen pemasyarakatan KB dengan meyakinkan orang perlunya merancang kehidupan dengan dua anak lewat mengatur jarak kelahiran dengan memakai alat kontrasepsi. "Kondom" pun populer sampai mulut rakyat Indonesia tak jengah menyebut barang itu di pergaulan umum.

Yang hendak kita garisbawahi adalah kemampuan Haryono untuk merayu kaum ibu untuk rela (maaf - pen) "terkurangi" kenikmatannya dalam berhubungan dengan suami. Tokh sampai saat ini sukses KB lebih terdukung oleh kaum wanita. Kita tidak tahu bagaimana Haryono lahir di zamannya  bisa menaklukkan wanita Indonesia untuk mengikuti skenarionya tentang norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS), maupun meyakini bahwa anak yang lahir "pria atau wanita sama saja".
Tiap saat ia mengadakan safari KB. Meski di pedesaan, kaum wanita yang hadir senantiasa banyak. Rahasianya memang karena program KB diintegrasikan dengan kegiatan PKK, Poskesmas/Posyandu, Dharma wanita, bahkan majelis taklim. Tepatnya dengan merangkul ulama, dan tokoh formal dan nonformal masyarakat, dan kader-kader di berbagai institusi masyarakat.

Menebar isme (pemahaman) atau memasyarakatkan program harus diakui merupakan kerja intelektual yang membutuhkan kekuatan jiwani yang rumit dan sulit kecuali oleh orang brilian yang bisa luwes hadir/tampil pada saat yang tepat ketika isme/program itu harus disosialisasikan. Tidak saja orang itu harus memenej pemasyarakatan program, juga meyakinkan orang akan kebenaran ismenya yang bisa membuahkan hasil positif. Untuk itu pemasar progam harus pandai merayu massa/publik.

Adalah gayung bersambut karena faktanya Haryono berhasil merengkuh erat wanita Indonesia  luluh dengan rayuannya untuk ber-KB. Adalah aneh karena pada saat yang bersamaan tidak ada tokoh lain yang cemburu alias meraih sukses yang sama/setara dalam memasyarakat program negara. Meski ada sukses swasembada pangan (beras) yang diakui dunia namun tidak nampak tokohnya kecuali hal itu merupakan kerja kolosal dari rakyat Indonesia, alias ukses semua petani.

Sekali lagi penulis tidak hendak memuji prestasi orang karena mereka bukan lagi anak-anak yang ceria disuguhi acungan jempol. Namun kita hanya ingin mengajak khalayak untuk mencermati gerak langkah Haryono yang terantar sukses oleh strategi dan taktiknya dalam memasyarakatkan program. Ingin rasanya ada ilmuwan yang jeli dan telaten untuk mencermati masalah ini dan merangkumnya menjadi "Ilmu penakluk publik".

Sebuah hal yang tidak bisa tertinggal adalah dukungan dana. Kebetulan program KB, lingkungan hidup, dan pemberdayaan masyarakat (MDGs),  merupakan program dunia di zamannya. Wajar jika seluruh negara dan lembaga-lembaga dunia ikut mengucurkan dana untuk kegiatan tersebut. Mengelola dana untuk pemasyarakatan program dalam jangka panjang jelas bukan hal yang mudah.
Sebab, masyarakat harus terjaga terus-menerus antusiasmenya selama sosialisasi program berlangsung. Namun yang hebat adalah fakta bahwa program yang harus ditelan oleh tiap individu penduduk malah penduduk itu sendiri yang sukarela menjadi aktivis dan pelaku program tersebut bahkan dengan mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan keihlasan menjalankan program.

Ada apa dengan Haryono Suyono sehingga ia tidak hanya mampu berkomunikasi secara akrab dengan masyarakat, terutama kaum wanita, sampai menjadi begitu terpesona pada program yang dijajakan dari desa ke desa sampai negara ke negara itu? Kia sadari sarjana komunikasi ini mungkin orang yang duduk pas di kursinya, percaya diri di bidangnya, dan melangkah gemulai pada misinya. Namun berpijak lama pada KB lalu meneruskan langkah dengan pemberdayaan masyarakat dengan memasarkan Posdaya (Program Pos Pemberdayaan Keluarga Sejahtera) adalah kerja panjang dan hanya bisa dijakankan ketika jiwaya memang ada dan terpanggil di sana.

Dengan kata lain, ia cinta pada keluarga Indonesia sehingga bisa bersikap sayang dengan mempintarkan mereka untuk mengubah kehidupan sesuai isme yang dikehendaki, dan masyakarat merasakan menerima limpahan kasih sayang itu sehingga terlena dalam buaian programnya. Ini sebuah harmonisasi yang tidak gampang membangunnya. Maka pantas jika Haryono memang menjadi ikon pemberdayaan keluarga atau pialang program. Kita butuh ilmunya yang terbukukan.
Menjadi saksi perjalanan karir Haryono Suyono sejak menjadi Kepala BKKBN sampai kini menjadi duta MDGs yang juga memasarkan pemberdayaan keluarga (Posdaya) sering tidak mudah untuk mencermati sisi-sisi kunci pemikatnya ketika mensosialisaikan program garapannya. Kini bahkan memberi modal usaha, memberi kredit dengan bunga rendah dan mudah lewat bank penyalur dananya, maupun membantu pengentasan kemiskinan dan membantu korban bencana alam dengan berbagai bentuknya, terkesan tidak cukup menonjol cara merayunya.

"Met ultah Bung, semoga tetap jadi orang yang selalu membikin 'gemes' kaum wanita”.***