Harus diakui
kini kendaraan sepeda motor benar-benar menyemut. Selain irit, cepat/nyaris tak
kena macet, dan praktis. Sayangnya “semut-semut” bermesin tidak mampu
tertib seperti semut sungguhan. Terlalu banyak pengendara motor yang tergolong
"setan jalanan". Yakni pengendara yang gemar main kebut, main salip,
main serobot, dan main menang sendiri, tanpa menghiraukan sopan santun di jalan
raya.
Adalah benar
bahwa mereka sendiri yang punya nyawa namun ulah ugal-ugalan di jalan raya
jelas mudah mengundang bahaya bagi orang atau pengendara lain. Keadaan itu
masih ditambah oleh suasana jalan yang macet, tak sabar antri, bahkan demikian
mudahnya orang menyerobot jalan yang berlawanan arah.
Suasana
tersebut selalu terjadi pada jam sibuk, sampai petugas lalu-lintas mengalah
memberi jalan yang berlawanan arah. Tiap pagi jalan raya Bekasi sejak pasar
Cakung hingga pertigaan pabrik besi beton CS, seluruh badan jalan ke arah
Bekasi dikuasai penuh oleh pengendara yang menuju Pulogadung.
Yang kita
lihat adalah manusia Ibukota yang kekanak-kanakan atau tak bersikap dewasa
ketika menghadapi masalah bersama. Manusia-manusia egois yang tidak taat dan
tertib berlalu-lintas. Manusia-manusia yang kehilangan kesabaran, meski di
bulan puasa, bahkan manusia yang sepertinya tidak mau belajar tentang nasib
buruk dari kecelakaan di jalan raya.
Jakarta
memang layak mendapat sebutan kampung besar karena penduduk atau orang yang
bekerja di Ibukota banyak yang "kampungan", tidak mencerminkan insan
terpelajar yang santun, tidak menghargai ketertiban umum dan kesalehan publik.
Rasanya memang Jakarta terlalu sumpek, terlalu ramai dan tidak ideal lagi untuk
menjadi ibukota negara karena apa artinya menjadi pusat negara dengan para
pejabat tingginya yang dikelilingi oleh manusia-manusia yang tidak menjunjung
tata-tertib.
Jika para
petinggi negeri ini tidak malu dengan masyarakat yang urakan itu berarti nilai
moral yang luhur memang tidak lagi laku “dijual”. Namun ini mungkin paralel
dengan kasus kejahatan korupsi yang tentu beranjak dari penyelewengan tertib
administrasi dan manajemen. Mungkin semua masalah akhirnya kembali pada diri
kita masing-masing, karena jalanan di Ibukota nampaknya juga memang sudah tidak
mampu lagi menampung panjang kendaraaan.
Yang terasa
menjadi konyol adalah seberapa pun orang mencoba berhati-hati di jalan, namun
jika banyak pengendara yang ugal-ugalan jelas yang berhati-hati malah bisa
menjadi korban pula.
Di sisi
lain, kita tahu petugas pengantur lalu-lintas meski dibantu aparat swasta juga
kewalahan. Penertiban pengendara motor sulit pula membantu mengatasi masalah.
Lantaran persoalannya mendesak, ada baiknya ada petugas gabungan yang berwibawa
untuk menjaga tertib lalu-lintas.
Menjelang
mudik lebaran yang jelas jutaan kendaraan roda dua akan meramaikan pulau Jawa,
kita hanya ingin berpesan agar kita semua mejunjung tata tertib demi
keselamatan bersama. Demi sesama.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar