Selasa, 12 November 2019

Keunggulan Transportasi Tol Trans Jawa Jadi Sarana Wujudkan Indonesia Maju Bersama


Saya ingin menulis sebuah kesaksian tentang keunggulan sarana transportasi penting di Indonesia: Tol Trans Jawa dan Jalur Pantai Utara (Pantura).

Saya tulis kesaksian ini karena pernah melintasi dua sarana transportasi itu dalam rentang waktu yang berbeda. Seperti diketahui, yang dimaksud jalan Pantura Pulau Jawa itu membentang sepanjang 1.316 km dari Anyer, Merak, Banten, sampai Banyuwangi. Sedangkan Tol Trans Jawa dari Merak sampai Probolinggo (saat itu dari Probolinggo sampai Banyuwangi baru masuk fase pembebasan lahan).  Jadi nanti jika selesai semua, maka panjang tol Trans Jawa mencapai 1.167 km.


Meskipun waktu itu tol baru sampai Probolinggo, perjalanan saya masih ditambah lagi dengan melintasi jalur tol Cipularang (Cikampek Purwakarta Padalarang), Purbaleunyi (Purwakarta, Bandung, Cileunyi), Jagorawi (Jakarta, Bogor, Ciawi), serta Tol Bocimi (Bogor, Ciawi, Sukabumi).

Untuk jalur Pantura, saya memang tidak menyusuri Merak sampai Banyuwangi sepenuhnya, melainkan hanya dari Jakarta sampai Surbaya. Tapi setidaknya itu bisa disebut ¾ jalur Pantura. Dari sisi waktu perjalanan, saya melintasinya jauh sebelum Tol Trans Jawa beroperasi atau ketika tol baru sebagian saja di Pulau Jawa.

Sekadar informasi, perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya saya tempuh selama hampir 18 jam. Itu pun hanya diselang istirahat sejenak untuk makan, isi BBM, dan salat. Meski perjalanan 18 jam, saya tidak begitu cemas karena perjalanan dilakukan bersama dua orang teman yang mengemudi secara bergantian.

Untuk menghindari terjebak macet di dalam kota, saya sengaja berangkat dari Tanjung Priok, Jakarta jam 4 pagi dan langsung masuk tol Jakarta Cikampek.

Dari gerbang tol Cikampek kemudian belok kiri menuju persimpangan Jomin untuk selanjutnya masuk jalur Pantura Subang.  Keluar dari tol Cikampek masuk jalur arteri agak tersendat karena persimpangan jalan yang menuju Cikampek dan Subang.

Di jalur arteri, pengemudi mobil harus ekstra hati-hati. Bukan semata karena banyaknya kendaraan pribadi, angkot, bus dan truk yang melintas, namun karena banyak pengguna sepeda motor yang juga melintas di jalur tersebut. Belum lagi terminal maupun pasar pinggir jalan yang membuat kendaraan harus mengurangi laju kecepatan.

Di jalur Pantura Indramayu, kendaraan harus kembali mengurangi kecepatan karena adanya perbaikan jalan. Penyempitan jalan juga terjadi di Cirebon sebelum masuk Losari yang menjadi perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Dari Brebes Jawa Tengah, perjalanan relatif lancar sampai Pekalongan. Selanjutnya agak tersendat di Batang menjelang kawasan hutan Alas Roban. Truk-truk bermuatan berat harus mengurangi kecepatan karena kontur jalan yang menanjak. Hal itu berpengaruh terhadap antrian kendaraan di belakangnya. Dari Batang, perjalanan berlanjut ke Kendal, kemudian masuk Semarang.

Dibandingkan rute perjalanan sebelumnya,  jalur dari Semarang menuju Surabaya relatif lebih lancar. Kendaraan tidak sepadat Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ini dirasakan mulai dari Demak, Kudus, Rembang, hingga perbatasan Jawa Tengah Jawa Timur, berlanjut ke Tuban, Lamongan, Gresik dan terakhir Surabaya.

Jujur saja, berada di dalam kendaraan selama kurang lebih 18 jam, rasanya memang melelahkan.  Apalagi istirahat di sejumlah tempat kurang lebih hanya setengah jam saja.

Istirahat pertama kali di Rumah Makan Uun, Subang. Kemudian mengisi BBM di POM Bensin Sukra, Indramayu. Istirahat lagi di sebuah rumah makan Alas Roban, Batang.

Dari situ, pengemudi mengajak beristirahat sejenak di pinggir jalan raya Tuban.  Dari sini perjalanan berlanjut tanpa istirahat sampai masuk kota Surabaya. Jika dihitung dari sejak berangkat jam 4 pagi dari Jakarta sampai Surabaya jam 10 malam, perjalanan ditempuh kurang lebih 18 jam.

Dengan kondisi fisik dan perjalanan yang melelahkan, sulit memang untuk mengeksplorasi kenyamanan perjalanan. Hal itu tidak terlepas dari laju kendaraan yang seringkali tersendat karena berbagai faktor seperti kondisi jalan yang kurang baik, persimpangan, pasar dan terminal, penduduk yang menyeberang jalan serta berbagai jenis kendaraan melintas di jalan yang sama, termasuk juga kendaraan umum yang berhenti kurang ke pinggir untuk menaikan atau menurunkan penumpang.

Sebelum adanya tol Trans Jawa, jalur Pantura Jawa bisa disebut jalur primadona karena menjadi dianggap sebagai urat nadi lalu lintas orang dan barang.

Memang ada dua moda transportasi lainnya yang bisa digunakan yakni angkutan laut dan kereta api. Namun masyarakat, terutama para pengguna jasa angkutan barang,  sepertinya lebih memilih menggunakan transportasi darat.

Truk dianggap lebih efisien karena barang langsung dikirim ke gudang/toko pemilik barang. Sedangkan jika menggunakan kapal laut atau kereta api harus dua kali proses muat dan bongkar. Itu pun pada akhirnya harus menggunakan angkutan truk juga.

Lalu bagaimana dengan Tol Trans Jawa?




Tol Trans Jawa bisa disebut menjadi primadona baru infrastruktur transportasi Pulau Jawa. Kecepatan waktu tempuh menjadi salah satu keunggulan sarana transportasi ini. Bayangkan saja, perjalanan Jakarta Surabaya yang jika melalui jalur Pantura ditempuh paling cepat 18 jam bahkan lebih, lewat tol Trans Jawa hanya butuh waktu 8 jam sampai 10 jam saja.

Untuk membuktikan kecepatan waktu tempuh itu,  tanggal 15 Januari 2019 atau satu bulan setelah Presiden Jokowi meresmikan beroperasinya tol Trans Jawa, saya pun memulai perjalanan melintasi Tol Trans Jawa.

Sebelumnya, agar mendapatkan informasi yang lebih lengkap, selain mencari referensi melalui internet, saya mendatangi Kantor Pusat Jasa Marga. Saya diterima Humas PT Jasa Marga, Pak Irwansyah, yang tertarik dengan rencana perjalanan saya tersebut. Saya juga menemui Mbak Indah, Humas PT Waskita Karya, serta Mas Adiya, Humas Jasa Marga Properti.

Maksud saya menemui mereka untuk mendapatkan informasi secara langsung mengenai kondisi jalan, tempat istirahat (rest area), dan informasi yang saya butuhkan selama dalam perjalanan.

Berbeda dengan perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 36 jam pergi dan pulang, untuk tol Trans Jawa saya menghabiskan waktu 5 hari. Mungkin ada yang bertanya, lho, tadi katanya lewat tol cuma 8 jam sampai 10 jam saja, kok ini malah lebih lama.

Jawabannya, waktu yang dibutuhkan lebih lama karena saya memang sudah berniat menikmati perjalanan sebaik-baiknya. Karena ya itu tadi, jika hanya melintas saja, waktu yang dibutuhkan dari Jakarta Surabaya melalui tol Trans Jawa hanya  8 jam sampai 10 jam saja.

Alhamdulilah setelah semua persiapan selesai, perjalanan menyusuri  tol Trans Jawa itu bisa juga dilakukan. Banyak sekali catatan pengalaman yang saya peroleh selama menyusurui tol Trans Jawa, mulai dari hari Selasa (15/1/19) sampai dengan Sabtu (19/1/19).

Saya mengawali rute perjalanan  dari gerbang tol Bekasi Timur dan kemudian menyusuri tol Jakarta Cikampek. Agar tidak bolak-balik, dari tol Jakarta Cikampek saya  beralih ke tol Cipularang hingga gerbang terakhir Purbaleunyi. Masuk lagi gerbang tol Cileunyi  menyusuri arah sebaliknya dan langsung menuju tol Cikampek Palimanan (Cipali).

Selanjutnya dari Cipali masuk tol Palimanan Kanci Pejagan. Terus berlanjut menyusuri tol Pejagan Pemalang Batang Semarang menuju Solo.  Dari Solo masuk Ngawi Kertosono kemudian tol Mojokerto Surabaya. Dari Surabaya melintasi tol Sidoarjo Gempol keluar tol Pandaan. Memutar balik menuju Gempol menyusuri tol Pasuruan Probolinggo (Paspro) dan keluar dari gerbang tol Grati.

Seperti disebutkan di atas, ruas tol Trans Jawa sebenarnya masih berlanjut dari Probolinggo hingga Banyuwangi (Probowangi). Dengan demikian, tol Trans Jawa itu nantinya benar-benar dari Merak hingga Banyuwangi.

Perjalanan sebaliknya menempuh rute yang sama. Hanya saja dari Cikampek menuju Jakarta langsung masuk tol Jagorawi, selanjutnya tol Bocimi (Bogor Ciawi Sukabumi).    Dari Bocimi kembali menyusuri Jagorawi menuju tol Merak sampai gerbang terakhir. Selanjutnya kembali ke Jakarta.

Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Probolinggo dan sebaliknya, saya pasti berhenti di setiap rest area. Bukan sekadar urusan mengisi BBM, tapi juga menyambangi warung-warung kuliner yang menjual makanan khas  di tempat tersebut.

 Jika di rest area tidak ada, saya meminta pengemudi untuk keluar gerbang tol untuk mencari kedai yang menjualan makanan khas tersebut. Soalnya bukan sekadar isi perut, tapi kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Targetnya, menikmati perjalanan, sambil berwisata kuliner. Maknyus.

Setelah sarapan nasi uduk Betawi di Jakarta, lanjut makan Soto Sadang di rest Area KM 72 Cipularang. Target berikutnya menikmati makanan khas Cirebon, Sega Jamblang, di rest area KM 228. Hujan yang turun saat masuk tol Pejagan Pemalang membuat pengemudi mengusulkan untuk keluar gerbang tol Tegal. Waktu sudah menunjukan jam 5 sore, berarti sebentar lagi masuk waktu makan maghrib.

Menunaikan salat Maghrib di Masjid Agung Tegal, selanjutnya mencari tempat makan malam dan penginapan untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Kendaraan mengarah ke alun-alun, dan akhirnya menemukan kedai yang menyediakan sop kambing dan sate batibul. Tekstur daging sate batibul lebih lembut dipadu sop kambing yang juga gurih.  

Beres makan malam, mencari angin sambil survei penginapan yang tak terlalu mahal. Alhamdulillah ketemu dekat salah satu Mall di kawasan persimpangan jalur Purwokerto Pemalang. Setelah itu beristirahat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Setelah sarapan pagi dengan nasi, telur dadar, dan sayur nangka, perjalanan berikutnya dimulai dari gerbang tol Tegal, terus berlanjut melewati Pemalang, Pekalongan, Batang hingga Semarang. 

Selanjutnya, Solo menuju tol Ngawi Kertosono kemudian tol Mojokerto Surabaya. Dari Surabaya melintasi tol Sidoarjo Gempol keluar tol Pandaan. Memutar balik menuju Gempol menyusuri tol Pasuruan Probolinggo (Paspro) dan keluar dari gerbang tol Grati.

Seperti disebutkan di atas, jika hanya menyusuri tol, perjalanan bolak-balik mungkin hanya membutuhkan waktu 2 atau 3 hari. Tapi saya memang sengaja banyak berhenti di setiap rest area untuk bertemu dengan pengunjung maupun pihak pengelola.  Konsekuensinya, dalam satu hari hanya bisa menyambangi 5 sampai 6 rest area saja.

Bagi saya, ngobrol-ngobrol dengan pengelola rest area ini penting untuk mengetahui berbagai fasilitas yang tersedia. Misalnya saja luas area lahan, kapasitas parkir untuk kendaraan besar dan kecil, jumlah tenant, brand waralaba, prosentase pedagang UMKM, jumlah dispenser SPBU dan informasi lain yang dibutuhkan para pengguna jalan tol.

Dari ngobrol-ngobrol itu, saya bisa memperoleh nomor-nomor kontak pengelola rest area yang dengan terbuka mengapresiasi perjalanan saya menyusuri tol Trans Jawa. Saya juga berkesampatan ngobrol-ngobrol dengan para pengemudi truk yang beralih dari Pantura ke tol Trans Jawa.

“Enggak kangen sama pelayan warung Pantura, Kang?” tanya saya kepada para pengemudi truk itu. 

Warung Pantura yang saya maksud adalah kedai-kedai tempat berjualan makanan terutama di hampir sepanjang jalan Pantura Jawa Barat. Para pelayan kedai itu biasanya perempuan-perempuan muda berparas manis.

Tak sedikit para pengemudi truk itu yang menjawab dengan hanya tertawa lebar. Sebagian dari mereka beralasan, waktu dan kepastian tiba di tempat tujuan lebih cepat agar bisa beristirahat dan melanjutkan lagi perjalanan.

“Di Pantura padat sekali, juga sering macet. Kalau lewat tol bisa lebih cepat,” jawab mereka.

“Ada saran?” tanya saya seperti petugas Jasa Marga.

“Lampu-lampu penerangan jalan dari Pejagan sampai Semarang minta ditambah lagi biar tidak terlalu gelap kalau malam,” pinta mereka.

“Pom bensin juga ya Kang?” tanya saya kembali bertanya.

Pertanyaan ini saya tanyakan karena waktu itu saya hampir kehabisan bensin setelah rest area Ngawi. Rupanya dari Ngawi sampai Mojokerto nyaris tidak ada pom bensin atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Terpaksa harus keluar di gerbang tol Madiun. Begitu juga arah sebaliknya, rest area belum beroperasi sepenuhnya. Alhasil saya harus keluar gerbang tol Salatiga untuk mengisi bensin.

Khusus tentang rest area ini saya memiliki catatan menarik lainnya. Rupanya para pengelola rest area bisa mengoperasikan di tempat lainnya sepanjang tol Trans Jawa. Misalnya saja pengelola rest area KM A, juga mengoperasikan rest area di KM G, KM Y, dan seterusnya.

Dari sisi pengunjung, rest area-rest area di sepanjang Tol Merak sampai Cirebon atau sebaliknya, relatif lebih ramai, dengan berbagai tenant dari sejumlah waralaba terkenal. Di bagian timur, rest area yang fasilitasnya sama dengan di wilayah barat terdapat di rest area KM 429 dan KM 512.

Tapi yang lebih menarik, para pengelola rest area di kawasan tengah dan timur sudah mengakomodir para pengusaha UMKM. Bahkan ada rest area yang 100% diisi pengusaha UMKM.

Secara umum, keberadaan tol Trans Jawa yang tidak terputus dari Merak sampai Probolinggo, dan selanjutnya Banyuwangi bisa disebut sebagai sebuah revolusi infrastruktur di jalur paling vital Indonesia.

Jika sebelumnya, berbagai kendaraan menumpuk di jalur Pantura, sejak tol Trans Jawa beroperasi, pengguna jalan memiliki pilihan yang jauh lebih efektif dan juga efisien.

Keberadaan tol Trans Jawa membuat kawasan-kawasan sepanjang tol bergeliat. Yang sudah terbukti, pengusaha-pengusaha skala UMKM yang kini bisa memasarkan produk-produknya di rest area sepanjang tol tersebut. Belum lagi para pedagang makanan dan minuman khas daerah masing-masing.

Dalam skala yang lebih besar, dalam waktu yang tidak lama lagi, pengusaha tentu tidak akan ragu untuk berinvestasi di kawasan-kawasan area tol (hinterland). Perumahan, kawasan industri, maupun tempat hiburan akan tumbuh dengan pesat.

Dampak positifnya terciptanya lapangan kerja di daerah tersebut sehingga mengurangi pengangguran dan arus urbanisasi ke kota besar seperti Jakarta, Semarang ataupun Surabaya.

Begitu juga dengan industri pariwisata yang bisa tumbuh lebih cepat dengan adanya akses tol tersebut. Pengelola angkutan pariwisata sudah pasti menganggap keberadaan tol Trans Jawa sebagai sebuah peluang bisnis yang sangat besar.

Begitu pun Pemerintah-pemerintah daerah yang dilalui tol Trans Jawa memiliki kesempatan membuat iklan-iklan kreatif menawarkan keunggulan wisata mulai dari kuliner, gunung/pantai, religi, dan lain-lain.

 Iklan-iklan dalam bentuk reklame luar ruang tersebut bisa dipajang di sepanjang jalan tol. Banyaknya pengguna jalan yang tertarik untuk berkunjung ke kawasan wisata tentunya berdampak positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan beberapa waktu lalu bahkan menerbitkan sebuah buku katalog tentang peta kuliner di sepanjang tol Trans Jawa. Mulai dari Cilegon yang terkenal dengan kuliner khas Ayam Bekakak dan Nasi Gonjleng. Selanjutnya Sate Bandeng dan Nasi Sumsum (Serang), Pepes Jambal (Karawang).

Cirebon dengan kuliner khas seperti Empal Gentong, Sega Jamblang, dan Nasi Lengko, kemudian Sate Blengong dan Kupat Glabed (Brebes), atau Tegal yang memiliki tradisi minum teh (moci), Sate Batibul, juga Pemalang dengan Nasi Grombyang, Sate Loso. Pekalongan dan Batang masing-masing Nasi Megono dan Lontong Lemprak.

Berlanjut ke timur (Semarang dan Solo) dengan kuliner sate kambing dengan rasa khas masing-masing, dan  Timlo Solo. Atau pecel khas Ngawi, atau Soto Surabaya, dan tentunya masih banyak lagi makanan khas di daerah-daerah tersebut. Makanan atau minuman tersebut tentu mengundang rasa penasaran para pengunjung.

Belum lagi jika bicara kawasan-kawasan wisata sepanjang tol Trans Jawa baik utara (pantai) maupun selatan (pegunungan) dengan berbagai keunggulan panoramanya, begitu pun wisata religi di sekitar kawasan tersebut yang tentunya memberi nilai tambah.

Muara dari semuanya adalah meningkatnya perekonomian masyarakat baik karena adanya investasi yang membuka lapangan kerja maupun kawasan-kawasan wisata yang menjadi lebih ramai. Di sisi lain, keberadaan tol Trans Jawa juga mengurangi kepadatan lalu lintas secara signifikan di sepanjang jalur Pantura.

Berkurangnya kepadatan lalu lintas tentu akan meningkatkan kenyamanan dankeselamatan para pengguna jalan. Begitu juga dengan biaya perawatan jalan Pantura yang tentunya bisa menurun secara drastis.

Dengan demikian, sebagai sarana transportasi, tol Trans Jawa dan jalur Pantura sejatinya memiliki keunggulan yang saling melengkapi, bukan meniadakan satu sama lain. Kedua jalur tersebut membuat konektivitas antarwilayah menjadi lebih kuat lagi.

Pada gilirannya hal ini memicu aktivitas ekonomi yang akan berdampak pada pertumbuhan secara berkelanjutan sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada gilirannya menjadikan Indonesia maju bersama.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar