Saya
ingin menulis sebuah kesaksian tentang keunggulan sarana transportasi penting di Indonesia:
Tol Trans Jawa dan Jalur Pantai Utara (Pantura).
Saya tulis kesaksian ini karena pernah melintasi dua sarana transportasi itu dalam rentang waktu yang berbeda. Seperti
diketahui, yang dimaksud jalan Pantura Pulau Jawa itu membentang sepanjang 1.316 km
dari Anyer, Merak, Banten, sampai Banyuwangi. Sedangkan Tol Trans Jawa dari
Merak sampai Probolinggo (saat itu dari Probolinggo sampai Banyuwangi baru
masuk fase pembebasan lahan). Jadi nanti jika
selesai semua, maka panjang tol Trans Jawa mencapai 1.167 km.
Meskipun waktu itu tol baru sampai Probolinggo, perjalanan saya masih ditambah lagi dengan melintasi jalur tol Cipularang (Cikampek Purwakarta Padalarang), Purbaleunyi (Purwakarta, Bandung, Cileunyi), Jagorawi (Jakarta, Bogor, Ciawi), serta Tol Bocimi (Bogor, Ciawi, Sukabumi).
Untuk
jalur Pantura, saya memang tidak menyusuri Merak sampai Banyuwangi sepenuhnya,
melainkan hanya dari Jakarta sampai Surbaya. Tapi setidaknya itu bisa disebut ¾
jalur Pantura. Dari sisi waktu perjalanan, saya melintasinya jauh sebelum Tol
Trans Jawa beroperasi atau ketika tol baru sebagian saja di Pulau Jawa.
Sekadar informasi, perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya saya tempuh selama hampir 18
jam. Itu pun hanya diselang istirahat sejenak untuk makan, isi BBM, dan salat. Meski perjalanan 18 jam, saya tidak begitu cemas karena perjalanan dilakukan bersama dua orang teman yang mengemudi secara bergantian.
Untuk
menghindari terjebak macet di dalam kota, saya sengaja berangkat dari Tanjung Priok, Jakarta
jam 4 pagi dan langsung masuk tol Jakarta Cikampek.
Dari gerbang tol Cikampek kemudian belok kiri menuju persimpangan Jomin untuk selanjutnya masuk jalur Pantura Subang. Keluar dari tol Cikampek masuk jalur arteri agak tersendat karena persimpangan jalan yang menuju Cikampek dan Subang.
Dari gerbang tol Cikampek kemudian belok kiri menuju persimpangan Jomin untuk selanjutnya masuk jalur Pantura Subang. Keluar dari tol Cikampek masuk jalur arteri agak tersendat karena persimpangan jalan yang menuju Cikampek dan Subang.
Di
jalur arteri, pengemudi mobil harus ekstra hati-hati. Bukan semata karena
banyaknya kendaraan pribadi, angkot, bus dan truk yang melintas, namun karena
banyak pengguna sepeda motor yang juga melintas di jalur tersebut. Belum lagi
terminal maupun pasar pinggir jalan yang membuat kendaraan harus mengurangi
laju kecepatan.
Di
jalur Pantura Indramayu, kendaraan harus kembali mengurangi kecepatan karena
adanya perbaikan jalan. Penyempitan jalan juga terjadi di Cirebon sebelum masuk
Losari yang menjadi perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dari Brebes Jawa Tengah, perjalanan relatif lancar sampai Pekalongan. Selanjutnya agak tersendat di Batang menjelang kawasan hutan Alas Roban. Truk-truk bermuatan berat harus mengurangi kecepatan karena kontur jalan yang menanjak. Hal itu berpengaruh terhadap antrian kendaraan di belakangnya. Dari Batang, perjalanan berlanjut ke Kendal, kemudian masuk Semarang.
Dari Brebes Jawa Tengah, perjalanan relatif lancar sampai Pekalongan. Selanjutnya agak tersendat di Batang menjelang kawasan hutan Alas Roban. Truk-truk bermuatan berat harus mengurangi kecepatan karena kontur jalan yang menanjak. Hal itu berpengaruh terhadap antrian kendaraan di belakangnya. Dari Batang, perjalanan berlanjut ke Kendal, kemudian masuk Semarang.
Dibandingkan
rute perjalanan sebelumnya, jalur dari
Semarang menuju Surabaya relatif lebih lancar. Kendaraan tidak sepadat Pantura
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ini dirasakan mulai dari Demak, Kudus, Rembang,
hingga perbatasan Jawa Tengah Jawa Timur, berlanjut ke Tuban, Lamongan, Gresik dan terakhir Surabaya.
Jujur saja, berada
di dalam kendaraan selama kurang lebih 18 jam, rasanya memang melelahkan. Apalagi istirahat di sejumlah tempat kurang
lebih hanya setengah jam saja.
Istirahat pertama kali di Rumah Makan Uun, Subang. Kemudian mengisi BBM di POM Bensin Sukra, Indramayu. Istirahat lagi di sebuah rumah makan Alas Roban, Batang.
Dari situ, pengemudi mengajak beristirahat sejenak di pinggir jalan raya Tuban. Dari sini perjalanan berlanjut tanpa istirahat sampai masuk kota Surabaya. Jika dihitung dari sejak berangkat jam 4 pagi dari Jakarta sampai Surabaya jam 10 malam, perjalanan ditempuh kurang lebih 18 jam.
Istirahat pertama kali di Rumah Makan Uun, Subang. Kemudian mengisi BBM di POM Bensin Sukra, Indramayu. Istirahat lagi di sebuah rumah makan Alas Roban, Batang.
Dari situ, pengemudi mengajak beristirahat sejenak di pinggir jalan raya Tuban. Dari sini perjalanan berlanjut tanpa istirahat sampai masuk kota Surabaya. Jika dihitung dari sejak berangkat jam 4 pagi dari Jakarta sampai Surabaya jam 10 malam, perjalanan ditempuh kurang lebih 18 jam.
Dengan
kondisi fisik dan perjalanan yang melelahkan, sulit memang untuk
mengeksplorasi kenyamanan perjalanan. Hal itu tidak terlepas dari laju
kendaraan yang seringkali tersendat karena berbagai faktor seperti kondisi
jalan yang kurang baik, persimpangan, pasar dan terminal, penduduk yang
menyeberang jalan serta berbagai jenis kendaraan melintas di jalan yang sama,
termasuk juga kendaraan umum yang berhenti kurang ke pinggir untuk menaikan
atau menurunkan penumpang.
Sebelum
adanya tol Trans Jawa, jalur Pantura Jawa bisa disebut jalur primadona karena menjadi dianggap sebagai urat nadi lalu lintas orang dan barang.
Memang ada dua moda transportasi lainnya yang bisa digunakan yakni angkutan laut dan kereta api. Namun masyarakat, terutama para pengguna jasa angkutan barang, sepertinya lebih memilih menggunakan transportasi darat.
Truk dianggap lebih efisien karena barang langsung dikirim ke gudang/toko pemilik barang. Sedangkan jika menggunakan kapal laut atau kereta api harus dua kali proses muat dan bongkar. Itu pun pada akhirnya harus menggunakan angkutan truk juga.
Memang ada dua moda transportasi lainnya yang bisa digunakan yakni angkutan laut dan kereta api. Namun masyarakat, terutama para pengguna jasa angkutan barang, sepertinya lebih memilih menggunakan transportasi darat.
Truk dianggap lebih efisien karena barang langsung dikirim ke gudang/toko pemilik barang. Sedangkan jika menggunakan kapal laut atau kereta api harus dua kali proses muat dan bongkar. Itu pun pada akhirnya harus menggunakan angkutan truk juga.
Lalu
bagaimana dengan Tol Trans Jawa?
Tol Trans Jawa bisa disebut menjadi primadona baru infrastruktur transportasi Pulau Jawa. Kecepatan waktu tempuh menjadi salah satu keunggulan sarana transportasi ini. Bayangkan saja, perjalanan Jakarta Surabaya yang jika melalui jalur Pantura ditempuh paling cepat 18 jam bahkan lebih, lewat tol Trans Jawa hanya butuh waktu 8 jam sampai 10 jam saja.
Untuk
membuktikan kecepatan waktu tempuh itu, tanggal 15 Januari 2019 atau satu bulan setelah Presiden Jokowi
meresmikan beroperasinya tol Trans Jawa, saya pun memulai perjalanan melintasi Tol
Trans Jawa.
Sebelumnya,
agar mendapatkan informasi yang lebih lengkap, selain mencari referensi melalui
internet, saya mendatangi Kantor Pusat Jasa Marga. Saya diterima Humas PT Jasa
Marga, Pak Irwansyah, yang tertarik dengan rencana perjalanan saya tersebut.
Saya juga menemui Mbak Indah, Humas PT Waskita Karya, serta Mas Adiya, Humas
Jasa Marga Properti.
Maksud saya menemui mereka untuk mendapatkan informasi secara langsung mengenai kondisi jalan, tempat istirahat (rest area), dan informasi yang saya butuhkan selama dalam perjalanan.
Maksud saya menemui mereka untuk mendapatkan informasi secara langsung mengenai kondisi jalan, tempat istirahat (rest area), dan informasi yang saya butuhkan selama dalam perjalanan.
Berbeda
dengan perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya yang ditempuh dalam waktu kurang
lebih 36 jam pergi dan pulang, untuk tol Trans Jawa saya menghabiskan waktu 5
hari. Mungkin ada yang bertanya, lho, tadi katanya lewat tol cuma 8 jam sampai
10 jam saja, kok ini malah lebih lama.
Jawabannya, waktu yang dibutuhkan lebih lama karena saya memang sudah berniat menikmati
perjalanan sebaik-baiknya. Karena ya itu tadi, jika hanya melintas saja, waktu
yang dibutuhkan dari Jakarta Surabaya melalui tol Trans Jawa hanya 8 jam sampai 10 jam saja.
Alhamdulilah setelah semua persiapan selesai, perjalanan menyusuri tol Trans Jawa itu bisa juga dilakukan. Banyak
sekali catatan pengalaman yang saya peroleh selama menyusurui tol Trans Jawa, mulai
dari hari Selasa (15/1/19) sampai dengan Sabtu (19/1/19).
Saya mengawali rute perjalanan dari gerbang
tol Bekasi Timur dan kemudian menyusuri tol Jakarta Cikampek. Agar tidak
bolak-balik, dari tol Jakarta Cikampek saya
beralih ke tol Cipularang hingga gerbang terakhir Purbaleunyi. Masuk
lagi gerbang tol Cileunyi menyusuri arah sebaliknya dan langsung menuju
tol Cikampek Palimanan (Cipali).
Selanjutnya dari Cipali masuk tol Palimanan Kanci Pejagan. Terus berlanjut menyusuri tol Pejagan Pemalang Batang Semarang menuju Solo. Dari Solo masuk Ngawi Kertosono kemudian tol Mojokerto Surabaya. Dari Surabaya melintasi tol Sidoarjo Gempol keluar tol Pandaan. Memutar balik menuju Gempol menyusuri tol Pasuruan Probolinggo (Paspro) dan keluar dari gerbang tol Grati.
Seperti disebutkan di atas, ruas tol Trans Jawa sebenarnya masih berlanjut dari Probolinggo hingga Banyuwangi (Probowangi). Dengan demikian, tol Trans Jawa itu nantinya benar-benar dari Merak hingga Banyuwangi.
Perjalanan sebaliknya menempuh rute yang sama. Hanya saja dari Cikampek menuju Jakarta langsung masuk tol Jagorawi, selanjutnya tol Bocimi (Bogor Ciawi Sukabumi). Dari Bocimi kembali menyusuri Jagorawi menuju tol Merak sampai gerbang terakhir. Selanjutnya kembali ke Jakarta.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Probolinggo dan sebaliknya, saya pasti berhenti di setiap rest area. Bukan sekadar urusan mengisi BBM, tapi juga menyambangi warung-warung kuliner yang menjual makanan khas di tempat tersebut.
Jika di rest area tidak ada, saya meminta pengemudi untuk keluar gerbang tol untuk mencari kedai yang menjualan makanan khas tersebut. Soalnya bukan sekadar isi perut, tapi kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Targetnya, menikmati perjalanan, sambil berwisata kuliner. Maknyus.
Selanjutnya dari Cipali masuk tol Palimanan Kanci Pejagan. Terus berlanjut menyusuri tol Pejagan Pemalang Batang Semarang menuju Solo. Dari Solo masuk Ngawi Kertosono kemudian tol Mojokerto Surabaya. Dari Surabaya melintasi tol Sidoarjo Gempol keluar tol Pandaan. Memutar balik menuju Gempol menyusuri tol Pasuruan Probolinggo (Paspro) dan keluar dari gerbang tol Grati.
Seperti disebutkan di atas, ruas tol Trans Jawa sebenarnya masih berlanjut dari Probolinggo hingga Banyuwangi (Probowangi). Dengan demikian, tol Trans Jawa itu nantinya benar-benar dari Merak hingga Banyuwangi.
Perjalanan sebaliknya menempuh rute yang sama. Hanya saja dari Cikampek menuju Jakarta langsung masuk tol Jagorawi, selanjutnya tol Bocimi (Bogor Ciawi Sukabumi). Dari Bocimi kembali menyusuri Jagorawi menuju tol Merak sampai gerbang terakhir. Selanjutnya kembali ke Jakarta.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Probolinggo dan sebaliknya, saya pasti berhenti di setiap rest area. Bukan sekadar urusan mengisi BBM, tapi juga menyambangi warung-warung kuliner yang menjual makanan khas di tempat tersebut.
Jika di rest area tidak ada, saya meminta pengemudi untuk keluar gerbang tol untuk mencari kedai yang menjualan makanan khas tersebut. Soalnya bukan sekadar isi perut, tapi kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Targetnya, menikmati perjalanan, sambil berwisata kuliner. Maknyus.
Setelah sarapan nasi uduk Betawi di Jakarta, lanjut makan
Soto Sadang di rest Area KM 72 Cipularang. Target berikutnya menikmati makanan
khas Cirebon, Sega Jamblang, di rest area KM 228. Hujan yang turun saat masuk
tol Pejagan Pemalang membuat pengemudi mengusulkan untuk keluar gerbang tol
Tegal. Waktu sudah menunjukan jam 5 sore, berarti sebentar lagi masuk waktu
makan maghrib.
Menunaikan salat Maghrib di Masjid Agung Tegal, selanjutnya mencari
tempat makan malam dan penginapan untuk melanjutkan perjalanan keesokan
harinya.
Kendaraan mengarah ke alun-alun, dan akhirnya menemukan kedai yang menyediakan sop kambing dan sate batibul. Tekstur daging sate batibul lebih lembut dipadu sop kambing yang juga gurih.
Kendaraan mengarah ke alun-alun, dan akhirnya menemukan kedai yang menyediakan sop kambing dan sate batibul. Tekstur daging sate batibul lebih lembut dipadu sop kambing yang juga gurih.
Beres makan malam, mencari angin sambil survei penginapan
yang tak terlalu mahal. Alhamdulillah ketemu dekat salah satu Mall di kawasan persimpangan
jalur Purwokerto Pemalang. Setelah itu beristirahat untuk melanjutkan
perjalanan keesokan harinya.
Setelah sarapan pagi dengan nasi, telur dadar, dan sayur
nangka, perjalanan berikutnya dimulai dari gerbang tol Tegal, terus berlanjut melewati
Pemalang, Pekalongan, Batang hingga Semarang.
Selanjutnya, Solo menuju tol Ngawi Kertosono kemudian tol Mojokerto Surabaya. Dari Surabaya melintasi tol Sidoarjo Gempol keluar tol Pandaan. Memutar balik menuju Gempol menyusuri tol Pasuruan Probolinggo (Paspro) dan keluar dari gerbang tol Grati.
Selanjutnya, Solo menuju tol Ngawi Kertosono kemudian tol Mojokerto Surabaya. Dari Surabaya melintasi tol Sidoarjo Gempol keluar tol Pandaan. Memutar balik menuju Gempol menyusuri tol Pasuruan Probolinggo (Paspro) dan keluar dari gerbang tol Grati.
Seperti disebutkan di atas, jika hanya menyusuri tol,
perjalanan bolak-balik mungkin hanya membutuhkan waktu 2 atau 3 hari. Tapi saya
memang sengaja banyak berhenti di setiap rest area untuk bertemu dengan pengunjung
maupun pihak pengelola. Konsekuensinya,
dalam satu hari hanya bisa menyambangi 5 sampai 6 rest area saja.
Bagi saya, ngobrol-ngobrol dengan pengelola rest area ini penting untuk mengetahui berbagai fasilitas yang tersedia. Misalnya saja luas area lahan, kapasitas parkir untuk kendaraan besar dan kecil, jumlah tenant, brand waralaba, prosentase pedagang UMKM, jumlah dispenser SPBU dan informasi lain yang dibutuhkan para pengguna jalan tol.
Dari ngobrol-ngobrol itu, saya bisa memperoleh nomor-nomor kontak pengelola rest area yang dengan terbuka mengapresiasi perjalanan saya menyusuri tol Trans Jawa. Saya juga berkesampatan ngobrol-ngobrol dengan para pengemudi truk yang beralih dari Pantura ke tol Trans Jawa.
Bagi saya, ngobrol-ngobrol dengan pengelola rest area ini penting untuk mengetahui berbagai fasilitas yang tersedia. Misalnya saja luas area lahan, kapasitas parkir untuk kendaraan besar dan kecil, jumlah tenant, brand waralaba, prosentase pedagang UMKM, jumlah dispenser SPBU dan informasi lain yang dibutuhkan para pengguna jalan tol.
Dari ngobrol-ngobrol itu, saya bisa memperoleh nomor-nomor kontak pengelola rest area yang dengan terbuka mengapresiasi perjalanan saya menyusuri tol Trans Jawa. Saya juga berkesampatan ngobrol-ngobrol dengan para pengemudi truk yang beralih dari Pantura ke tol Trans Jawa.
“Enggak kangen sama pelayan warung Pantura, Kang?” tanya
saya kepada para pengemudi truk itu.
Warung Pantura yang saya maksud adalah
kedai-kedai tempat berjualan makanan terutama di hampir sepanjang jalan Pantura
Jawa Barat. Para pelayan kedai itu biasanya perempuan-perempuan muda berparas
manis.
Tak sedikit para pengemudi truk itu yang menjawab dengan
hanya tertawa lebar. Sebagian dari mereka beralasan, waktu dan kepastian tiba di
tempat tujuan lebih cepat agar bisa beristirahat dan melanjutkan lagi
perjalanan.
“Di Pantura padat sekali, juga sering macet. Kalau lewat tol
bisa lebih cepat,” jawab mereka.
“Ada saran?” tanya saya seperti petugas Jasa Marga.
“Lampu-lampu penerangan jalan dari Pejagan sampai Semarang
minta ditambah lagi biar tidak terlalu gelap kalau malam,” pinta mereka.
“Pom bensin juga ya Kang?” tanya saya kembali bertanya.
Pertanyaan ini saya tanyakan karena waktu itu saya hampir kehabisan bensin
setelah rest area Ngawi. Rupanya dari Ngawi sampai Mojokerto nyaris tidak ada
pom bensin atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Terpaksa harus keluar di gerbang tol Madiun. Begitu juga arah sebaliknya, rest area belum beroperasi sepenuhnya. Alhasil saya harus keluar gerbang tol Salatiga untuk mengisi bensin.
Terpaksa harus keluar di gerbang tol Madiun. Begitu juga arah sebaliknya, rest area belum beroperasi sepenuhnya. Alhasil saya harus keluar gerbang tol Salatiga untuk mengisi bensin.
Khusus tentang rest area ini saya memiliki catatan menarik
lainnya. Rupanya para pengelola rest area bisa mengoperasikan di tempat lainnya
sepanjang tol Trans Jawa. Misalnya saja pengelola rest area KM A, juga mengoperasikan
rest area di KM G, KM Y, dan seterusnya.
Dari sisi pengunjung, rest area-rest area di sepanjang Tol Merak sampai Cirebon atau sebaliknya, relatif lebih ramai, dengan berbagai tenant dari sejumlah waralaba terkenal. Di bagian timur, rest area yang fasilitasnya sama dengan di wilayah barat terdapat di rest area KM 429 dan KM 512.
Tapi yang lebih menarik, para pengelola rest area di kawasan tengah dan timur sudah mengakomodir para pengusaha UMKM. Bahkan ada rest area yang 100% diisi pengusaha UMKM.
Dari sisi pengunjung, rest area-rest area di sepanjang Tol Merak sampai Cirebon atau sebaliknya, relatif lebih ramai, dengan berbagai tenant dari sejumlah waralaba terkenal. Di bagian timur, rest area yang fasilitasnya sama dengan di wilayah barat terdapat di rest area KM 429 dan KM 512.
Tapi yang lebih menarik, para pengelola rest area di kawasan tengah dan timur sudah mengakomodir para pengusaha UMKM. Bahkan ada rest area yang 100% diisi pengusaha UMKM.
Secara umum, keberadaan tol Trans Jawa yang tidak terputus
dari Merak sampai Probolinggo, dan selanjutnya Banyuwangi bisa disebut sebagai
sebuah revolusi infrastruktur di jalur paling vital Indonesia.
Jika sebelumnya, berbagai kendaraan menumpuk di jalur Pantura, sejak tol Trans Jawa beroperasi, pengguna jalan memiliki pilihan yang jauh lebih efektif dan juga efisien.
Jika sebelumnya, berbagai kendaraan menumpuk di jalur Pantura, sejak tol Trans Jawa beroperasi, pengguna jalan memiliki pilihan yang jauh lebih efektif dan juga efisien.
Keberadaan tol Trans Jawa membuat kawasan-kawasan sepanjang
tol bergeliat. Yang sudah terbukti, pengusaha-pengusaha skala UMKM yang kini
bisa memasarkan produk-produknya di rest area sepanjang tol tersebut. Belum
lagi para pedagang makanan dan minuman khas daerah masing-masing.
Dalam skala yang lebih besar, dalam waktu yang tidak lama
lagi, pengusaha tentu tidak akan ragu untuk berinvestasi di kawasan-kawasan area
tol (hinterland). Perumahan, kawasan industri,
maupun tempat hiburan akan tumbuh dengan pesat.
Dampak positifnya terciptanya lapangan kerja di daerah tersebut sehingga mengurangi pengangguran dan arus urbanisasi ke kota besar seperti Jakarta, Semarang ataupun Surabaya.
Dampak positifnya terciptanya lapangan kerja di daerah tersebut sehingga mengurangi pengangguran dan arus urbanisasi ke kota besar seperti Jakarta, Semarang ataupun Surabaya.
Begitu juga dengan industri pariwisata yang bisa tumbuh
lebih cepat dengan adanya akses tol tersebut. Pengelola angkutan pariwisata sudah
pasti menganggap keberadaan tol Trans Jawa sebagai sebuah peluang bisnis yang
sangat besar.
Begitu pun Pemerintah-pemerintah daerah yang dilalui tol
Trans Jawa memiliki kesempatan membuat iklan-iklan kreatif menawarkan
keunggulan wisata mulai dari kuliner, gunung/pantai, religi, dan lain-lain.
Iklan-iklan dalam bentuk reklame luar ruang tersebut bisa dipajang di sepanjang jalan tol. Banyaknya pengguna jalan yang tertarik untuk berkunjung ke kawasan wisata tentunya berdampak positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Iklan-iklan dalam bentuk reklame luar ruang tersebut bisa dipajang di sepanjang jalan tol. Banyaknya pengguna jalan yang tertarik untuk berkunjung ke kawasan wisata tentunya berdampak positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian
Perhubungan beberapa waktu lalu bahkan menerbitkan sebuah buku katalog tentang
peta kuliner di sepanjang tol Trans Jawa. Mulai dari Cilegon yang terkenal
dengan kuliner khas Ayam Bekakak dan Nasi Gonjleng. Selanjutnya Sate Bandeng
dan Nasi Sumsum (Serang), Pepes Jambal (Karawang).
Cirebon dengan kuliner khas seperti Empal Gentong, Sega
Jamblang, dan Nasi Lengko, kemudian Sate Blengong dan Kupat Glabed (Brebes),
atau Tegal yang memiliki tradisi minum teh (moci), Sate Batibul, juga Pemalang
dengan Nasi Grombyang, Sate Loso. Pekalongan dan Batang masing-masing Nasi
Megono dan Lontong Lemprak.
Berlanjut ke timur (Semarang dan Solo) dengan kuliner sate
kambing dengan rasa khas masing-masing, dan Timlo Solo. Atau pecel khas Ngawi, atau Soto
Surabaya, dan tentunya masih banyak lagi makanan khas di daerah-daerah tersebut.
Makanan atau minuman tersebut tentu mengundang rasa penasaran para pengunjung.
Belum lagi jika bicara kawasan-kawasan wisata sepanjang tol
Trans Jawa baik utara (pantai) maupun selatan (pegunungan) dengan berbagai keunggulan
panoramanya, begitu pun wisata religi di sekitar kawasan tersebut yang tentunya
memberi nilai tambah.
Muara dari semuanya adalah meningkatnya perekonomian
masyarakat baik karena adanya investasi yang membuka lapangan kerja maupun kawasan-kawasan
wisata yang menjadi lebih ramai. Di sisi lain, keberadaan tol Trans Jawa juga
mengurangi kepadatan lalu lintas secara signifikan di sepanjang jalur Pantura.
Berkurangnya kepadatan lalu lintas tentu akan meningkatkan kenyamanan dankeselamatan para pengguna jalan. Begitu juga dengan biaya perawatan jalan Pantura yang tentunya bisa menurun secara drastis.
Berkurangnya kepadatan lalu lintas tentu akan meningkatkan kenyamanan dankeselamatan para pengguna jalan. Begitu juga dengan biaya perawatan jalan Pantura yang tentunya bisa menurun secara drastis.
Dengan demikian, sebagai sarana transportasi, tol Trans Jawa dan jalur Pantura sejatinya
memiliki keunggulan yang saling melengkapi, bukan meniadakan satu sama lain. Kedua
jalur tersebut membuat konektivitas antarwilayah menjadi lebih kuat lagi.
Pada gilirannya hal ini memicu aktivitas ekonomi yang akan berdampak pada pertumbuhan secara berkelanjutan sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada gilirannya menjadikan Indonesia maju bersama.***
Pada gilirannya hal ini memicu aktivitas ekonomi yang akan berdampak pada pertumbuhan secara berkelanjutan sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada gilirannya menjadikan Indonesia maju bersama.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar