Senin, 18 November 2019

Peran KNKS Sebagai Katalisator Pemberdayaan UMKM Berbasis Syariah


Ketua Umum  Gabungan Eksportir Indonesia (GPEI, Khairul Mahalli, menyebut potensi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk memasarkan produk-produknya ke luar negeri sangat terbuka lebar. Menurut sosok yang juga menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Sumatera Utara tersebut, permintaan produk-produk dari Indonesia terus meningkat terutama di negara-negara berpenduduk muslim, seperti Timur Tengah, Brunei Darussalam serta Malaysia.

Mahalli menilai besarnya permintaan tersebut menunjukan kepercayaan yang tinggi terhadap kualitas produk-produk asal Indonesia. Masyarakat muslim di luar negeri juga percaya proses pembuatan produk tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah Islam (syariah). Hal ini dibuktikan dengan sertifikasi baik pemerintah maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam perbincangan dengan penulis, akhir Oktober 2019 lalu, Mahalli mengharapkan sinergitas semua pemangku kepentingan untuk mendorong penetrasi produk-produk UMKM ke luar negeri. Sebagai langkah awal, GPEI melakukan aksi jemput bola (road show)  ke sejumlah kota besar di Indonesia. Kota-kota besar tersebut antara lain Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan, dan Makassar.

Tujuan dari road show tersebut untuk menjaring produk-produk unggulan hasil karya para pengusaha UMKM. GPEI menargetkan bisa menjaring ratusan pengusaha UMKM di setiap kota besar yang dikunjungi. Kelak setelah mendapatkan mitra-mitra pengusaha UMKM, GPEI melalui para anggotanya akan melakukan pendampingan baik modal maupun manajemen pemasaran. Termasuk juga memenuhi berbagai persyaratan agar produk UMKM tersebut bisa menembus pasar luar negeri (ekspor).

Mahalli menyebut inisiatif GPEI tersebut didorong semangat agar persoalan-persoalan yang selama ini membelit UMKM bisa diurai satu persatu. Harapan selanjutnya, imbuh Mahalli, terbangunnya sinergitas dari semua pihak untuk memajukan UMKM baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri.

Meski belum bisa menjangkau puluhan juta pengusaha UMKM, langkah yang dilakukan GPEI memang patut diapresiasi. Apalagi hal tersebut dilakukan asosiasi pengusaha (eksportir) yang merasa prihatin dengan besarnya potensi UMKM namun masih menghadapi berbagai kendala ketika akan memasarkan produknya ke luar negeri.

Salah satu kendala yang berusaha dipecahkan GPEI adalah permodalan. Tak sedikit pengusaha UMKM yang tidak bisa memproduksi barang dalam jumlah banyak karena terkendala modal. Di sisi lain, akses ke lembaga-lembaga keuangan juga tidak bisa dijangkau karena berbagai faktor, yang salah satunya berupa agunan. Karena itu, GPEI merencanakan melakukan kerja sama penyertaan modal pada UMKM yang memiliki prospek untuk dikembangkan.

GPEI mengakui langkah tersebut belum bisa menjangkau seluruh UMKM yang berjumlah puluhan juta di seluruh Indonesia. Namun langkah itu akan menjadi ‘pilot project’ kerja sama pengusaha UMKM dengan para eksportir. Dengan demikian, kerja sama tersebut diharapkan menjadi role model bagi pemberdayaan UMKM khususnya yang berorientasi ekspor.

Harapan besarnya, semakin banyaknya pengusaha UMKM yang bisa tumbuh melalui pendampingan GPEI, akan semakin besar pula peluang untuk mengembangkan usaha. Itu artinya, kelak peran lembaga-lembaga keuangan memberikan kredit permodalan menjadi sangat dibutuhkan. Tak kalah pentingnya dukungan dari pemerintah maupun lembaga-lembaga otoritas lainnya dalam menerbitkan berbagai sertifikasi produk UMKM tersebut.

Mengutip pernyataan Mahalli, dalam hal permodalan pun banyak pengusaha UMKM memilih berhati-hati. Mereka menghindari penawaran modal dari lembaga-lembaga keuangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Selain khawatir terjebak pada praktik riba, bunga pinjaman yang tinggi juga menjadi alasan bagi mereka menghindari penawaran modal tersebut.

Di sisi lain, tak sedikit pengusaha UMKM yang justeru memilih jalan pintas dengan mengajukan pinjaman modal kepada lembaga berkedok koperasi atau perorangan meskipun dengan bunga pinjaman yang tinggi. Data pada Kadin Jawa Barat, sebagaimana dikutip Okezone.com,  dari sekira 6 juta pengusaha UMKM di provinsi tersebut, 40% terjebak utang pada rentenir!

Kesulitan memperoleh modal seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank-bank pemerintah menjadi pemicu merebaknya pengusaha UMKM yang terjerat utang pada rentenir tersebut. Dibandingkan dengan pengajuan kredit ke bank yang harus menggunakan agunan, pinjaman modal kepada rentenir tidak membutuhkan agunan dengan proses yang jauh lebih cepat. Meskipun dengan konsekuensi bunga pinjaman terbilang tinggi, mencapai 10% sampai 30% per bulan.

Peran KNKS
Langkah GPEI memulai pemberdayaan UMKM dengan melakukan pendampingan baik modal, manajemen usaha maupun pemasaran terutama untuk produk-produk berskala ekspor, bisa menginspirasi para pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan pendampingan serupa. Apalagi meningkatnya bisnis pengusaha UMKM bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Tentu saja, pendampingan terhadap para pengusaha UMKM tersebut bersifat simbiosis mutualisma atau saling menguntungkan para pihak yang terlibat dalam kerja sama. Dengan demikian, produk-produk pengusaha UMKM semakin diminati dengan penetrasi pasar yang lebih luas, keuntungan finansial sebagai hasil dari kerja sama itu pun bisa dinikmati.

Dalam konteks ini, peluang UMKM untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi memang sangat besar. Sebagai contoh ketika pada awal Januari 2019 lalu penulis melakukan perjalanan menyusuri Tol Trans Jawa dari Merak sampai Probolinggo. Di tol sepanjang kurang lebih 1000 Km tersebut, penulis memilih berhenti di setiap tempat peristirahatan (rest area).

Dari perbincangan dengan pengelola rest area maupun para pedagang makanan/minuman di tempat tersebut, potensi pengembangan UMKM terbuka lebar. Tidak hanya di lingkup rest area, melainkan di kawasan-kawasan sepanjang tol tersebut (hinterland).

Itu artinya, produk-produk UMKM  baik makanan, minuman ataupun barang-barang kerajinan masyarakat bisa diekspose lebih besar lagi. Termasuk di dalamnya makanan atau minuman khas dari daerah-daerah sepanjang tol Trans Jawa. Pengenalan produk ini satu paket dengan promosi kawasan wisata-wisata yang potensial untuk dikembangkan. Jika di kawasan-kawasan tersebut bisa dilakukan, maka tentu saja bisa diduplikasikan di daerah-daerah lain di Indonesia dengan berbagai penyesuaian sesuai dengan ciri khas masing-masing.

Asosiasi Pemerintah daerah baik kota/kabupaten maupun provinsi harusnya lebih proaktif mendorong kerja sama pemberdayaan UMKM tersebut. Kerja sama ini tidak hanya dalam bentuk penerbitan database potensi UMKM di masing-masing daerah, namun diperluas pada langkah nyata pendampingan pengusaha UMKM tersebut.

Pendampingan dalam soal permodalan, misalnya, pemerintah daerah bisa menggandeng Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS). Komite yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 91 tahun 2016 itu memang memiliki tugas sebagai katalisator perkembangan keuangan syariah dalam skala nasional maupun internasional. KNKS juga diamanatkan untuk turut mendorong pengembangan ekonomi syariah.

Sebagai katalisator, peran yang diemban KNKS tersebut sangat tepat dimanfaatkan pemerintah daerah, pengusaha UMKM maupun asosiasi pengusaha. Terlebih lagi dengan label syariah, Pemerintah Daerah bisa lebih mudah meyakinkan semua pelaku usaha UMKM yang sejauh ini menghindari kerja sama dengan pihak lain karena kekhawatiran tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama (syar’i).

Jika sejauh ini pengusaha UMKM kesulitan mengakses lembaga-lembaga keuangan, diharapkan melalui peran KNKS hal tersebut bisa diatasi. Begitu pun bagi lembaga-lembaga keuangan syariah yang selama ini terkendala dalam menjalin kerja sama dengan UMKM bisa terjembatani dengan kehadiran KNKS. Jika mengacu pada pengusaha UMKM yang mencapai 10 juta serta jumlah lembaga keuangan berbasis syariah sebanyak 5000 institusi, peluang kerja sama yang saling menguntungkan itu sangat terbuka lebar.

Sebagai catatan, dari 5000 institusi tersebut, saat ini terdapat 34 Bank Syariah, 58 operator takaful atau asuransi syariah, 7 Modal Ventura Syariah, 163 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, 4500-5500 Koperasi Syariah atau Baitul Maal wat Tamwil, dan satu institusi pegadaian syariah yang bisa didorong untuk melakukan kerja sama pemberdayaan pengusaha UMKM.

Peluang ini kian besar jika menilik jumlah penduduk Indonesia di tahun 2019 sebanyak 260 juta dan 85% di antaranya merupakan pemeluk agama Islam. Begitu pun jika mengacu pada jumlah penduduk muslim di dunia yang mencapai 1,8 miliar jiwa (24% populasi dunia) menjadi potensi tersendiri untuk pemberdayaan pengusaha UMKM tersebut.

Jika saja potensi tersebut bisa dikelola dengan baik maka peran KNKS dalam memberdayakan UMKM berbasis syariah menjadi sangat penting. Karena itu jalinan kerja sama antara pemerintah daerah dengan KNKS menjadi demikian strategis untuk mewujudkan kerja sama tersebut.

Tak hanya itu, bagi pemerintah daerah, keuntungan kerja sama ini akan bertambah dengan tumbuh dan berkembangnya usaha UMKM yang bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Efek berantai (multiplier effect) lainnya meningkatnya kunjungan wisatawan  ke daerah karena ingin berbelanja produk UMKM sekaligus menikmati panorama alam di daerah tersebut. Bahkan sejalan dengan program KNKS mendorong produk maupun wisata halal, pemerintah daerah pun bisa mempelajari dan mengimplementasikan program tersebut.

Pada akhirnya, jika semua mata rantai tersebut bisa saling terkoneksi, masyarakat berbasis ekonomi syariah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan program-program KNKS tersebut bisa cepat terwujud. Insya Allah.*** [Karnali Faisal]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar