Ketua
Umum Gabungan Eksportir Indonesia (GPEI,
Khairul Mahalli, menyebut potensi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk
memasarkan produk-produknya ke luar negeri sangat terbuka lebar. Menurut sosok
yang juga menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Sumatera
Utara tersebut, permintaan produk-produk dari Indonesia terus meningkat
terutama di negara-negara berpenduduk muslim, seperti Timur Tengah, Brunei
Darussalam serta Malaysia.
Mahalli
menilai besarnya permintaan tersebut menunjukan kepercayaan yang tinggi
terhadap kualitas produk-produk asal Indonesia. Masyarakat muslim di luar
negeri juga percaya proses pembuatan produk tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah
Islam (syariah). Hal ini dibuktikan dengan sertifikasi baik pemerintah maupun
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam
perbincangan dengan penulis, akhir Oktober 2019 lalu, Mahalli mengharapkan sinergitas
semua pemangku kepentingan untuk mendorong penetrasi produk-produk UMKM ke luar
negeri. Sebagai langkah awal, GPEI melakukan aksi jemput bola (road show) ke sejumlah kota besar di Indonesia.
Kota-kota besar tersebut antara lain Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan, dan Makassar.
Tujuan
dari road show tersebut untuk
menjaring produk-produk unggulan hasil karya para pengusaha UMKM. GPEI
menargetkan bisa menjaring ratusan pengusaha UMKM di setiap kota besar yang
dikunjungi. Kelak setelah mendapatkan mitra-mitra pengusaha UMKM, GPEI melalui
para anggotanya akan melakukan pendampingan baik modal maupun manajemen
pemasaran. Termasuk juga memenuhi berbagai persyaratan agar produk UMKM
tersebut bisa menembus pasar luar negeri (ekspor).
Mahalli
menyebut inisiatif GPEI tersebut didorong semangat agar persoalan-persoalan
yang selama ini membelit UMKM bisa diurai satu persatu. Harapan selanjutnya, imbuh
Mahalli, terbangunnya sinergitas dari semua pihak untuk memajukan UMKM baik
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri.
Meski
belum bisa menjangkau puluhan juta pengusaha UMKM, langkah yang dilakukan GPEI
memang patut diapresiasi. Apalagi hal tersebut dilakukan asosiasi pengusaha
(eksportir) yang merasa prihatin dengan besarnya potensi UMKM namun masih
menghadapi berbagai kendala ketika akan memasarkan produknya ke luar negeri.
Salah
satu kendala yang berusaha dipecahkan GPEI adalah permodalan. Tak sedikit
pengusaha UMKM yang tidak bisa memproduksi barang dalam jumlah banyak karena
terkendala modal. Di sisi lain, akses ke lembaga-lembaga keuangan juga tidak
bisa dijangkau karena berbagai faktor, yang salah satunya berupa agunan. Karena
itu, GPEI merencanakan melakukan kerja sama penyertaan modal pada UMKM yang memiliki
prospek untuk dikembangkan.
GPEI
mengakui langkah tersebut belum bisa menjangkau seluruh UMKM yang berjumlah
puluhan juta di seluruh Indonesia. Namun langkah itu akan menjadi ‘pilot
project’ kerja sama pengusaha UMKM dengan para eksportir. Dengan demikian, kerja
sama tersebut diharapkan menjadi role
model bagi pemberdayaan UMKM khususnya yang berorientasi ekspor.
Harapan
besarnya, semakin banyaknya pengusaha UMKM yang bisa tumbuh melalui
pendampingan GPEI, akan semakin besar pula peluang untuk mengembangkan usaha.
Itu artinya, kelak peran lembaga-lembaga keuangan memberikan kredit permodalan
menjadi sangat dibutuhkan. Tak kalah pentingnya dukungan dari pemerintah maupun
lembaga-lembaga otoritas lainnya dalam menerbitkan berbagai sertifikasi produk
UMKM tersebut.
Mengutip
pernyataan Mahalli, dalam hal permodalan pun banyak pengusaha UMKM memilih
berhati-hati. Mereka menghindari penawaran modal dari lembaga-lembaga keuangan
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Selain khawatir terjebak pada
praktik riba, bunga pinjaman yang tinggi juga menjadi alasan bagi mereka
menghindari penawaran modal tersebut.
Di
sisi lain, tak sedikit pengusaha UMKM yang justeru memilih jalan pintas dengan
mengajukan pinjaman modal kepada lembaga berkedok koperasi atau perorangan meskipun
dengan bunga pinjaman yang tinggi. Data pada Kadin Jawa Barat, sebagaimana
dikutip Okezone.com, dari sekira 6 juta pengusaha
UMKM di provinsi tersebut, 40% terjebak utang pada rentenir!
Kesulitan
memperoleh modal seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank-bank pemerintah menjadi
pemicu merebaknya pengusaha UMKM yang terjerat utang pada rentenir tersebut. Dibandingkan
dengan pengajuan kredit ke bank yang harus menggunakan agunan, pinjaman modal
kepada rentenir tidak membutuhkan agunan dengan proses yang jauh lebih cepat.
Meskipun dengan konsekuensi bunga pinjaman terbilang tinggi, mencapai 10%
sampai 30% per bulan.
Peran KNKS
Langkah
GPEI memulai pemberdayaan UMKM dengan melakukan pendampingan baik modal,
manajemen usaha maupun pemasaran terutama untuk produk-produk berskala ekspor, bisa
menginspirasi para pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan pendampingan serupa.
Apalagi meningkatnya bisnis pengusaha UMKM bisa mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional.
Tentu
saja, pendampingan terhadap para pengusaha UMKM tersebut bersifat simbiosis
mutualisma atau saling menguntungkan para pihak yang terlibat dalam kerja sama.
Dengan demikian, produk-produk pengusaha UMKM semakin diminati dengan penetrasi
pasar yang lebih luas, keuntungan finansial sebagai hasil dari kerja sama itu
pun bisa dinikmati.
Dalam
konteks ini, peluang UMKM untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi memang
sangat besar. Sebagai contoh ketika pada awal Januari 2019 lalu penulis melakukan
perjalanan menyusuri Tol Trans Jawa dari Merak sampai Probolinggo. Di tol sepanjang
kurang lebih 1000 Km tersebut, penulis memilih berhenti di setiap tempat peristirahatan
(rest area).
Dari
perbincangan dengan pengelola rest area maupun
para pedagang makanan/minuman di tempat tersebut, potensi pengembangan UMKM terbuka
lebar. Tidak hanya di lingkup rest area, melainkan
di kawasan-kawasan sepanjang tol tersebut (hinterland).
Itu
artinya, produk-produk UMKM baik
makanan, minuman ataupun barang-barang kerajinan masyarakat bisa diekspose
lebih besar lagi. Termasuk di dalamnya makanan atau minuman khas dari
daerah-daerah sepanjang tol Trans Jawa. Pengenalan produk ini satu paket dengan
promosi kawasan wisata-wisata yang potensial untuk dikembangkan. Jika di
kawasan-kawasan tersebut bisa dilakukan, maka tentu saja bisa diduplikasikan di
daerah-daerah lain di Indonesia dengan berbagai penyesuaian sesuai dengan ciri
khas masing-masing.
Asosiasi
Pemerintah daerah baik kota/kabupaten maupun provinsi harusnya lebih proaktif
mendorong kerja sama pemberdayaan UMKM tersebut. Kerja sama ini tidak hanya
dalam bentuk penerbitan database potensi UMKM di masing-masing daerah, namun diperluas
pada langkah nyata pendampingan pengusaha UMKM tersebut.
Pendampingan
dalam soal permodalan, misalnya, pemerintah daerah bisa menggandeng Komite
Nasional Keuangan Syariah (KNKS). Komite yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden RI No. 91 tahun 2016 itu memang memiliki tugas sebagai katalisator perkembangan
keuangan syariah dalam skala nasional maupun internasional. KNKS juga diamanatkan
untuk turut mendorong pengembangan ekonomi syariah.
Sebagai
katalisator, peran yang diemban KNKS tersebut sangat tepat dimanfaatkan pemerintah
daerah, pengusaha UMKM maupun asosiasi pengusaha. Terlebih lagi dengan label
syariah, Pemerintah Daerah bisa lebih mudah meyakinkan semua pelaku usaha UMKM yang
sejauh ini menghindari kerja sama dengan pihak lain karena kekhawatiran tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip agama (syar’i).
Jika
sejauh ini pengusaha UMKM kesulitan mengakses lembaga-lembaga keuangan, diharapkan
melalui peran KNKS hal tersebut bisa diatasi. Begitu pun bagi lembaga-lembaga
keuangan syariah yang selama ini terkendala dalam menjalin kerja sama dengan
UMKM bisa terjembatani dengan kehadiran KNKS. Jika mengacu pada pengusaha UMKM
yang mencapai 10 juta serta jumlah lembaga keuangan berbasis syariah sebanyak
5000 institusi, peluang kerja sama yang saling menguntungkan itu sangat terbuka
lebar.
Sebagai
catatan, dari 5000 institusi tersebut, saat ini terdapat 34 Bank Syariah, 58
operator takaful atau asuransi syariah, 7 Modal Ventura Syariah, 163 Bank
Perkreditan Rakyat Syariah, 4500-5500 Koperasi Syariah atau Baitul Maal wat Tamwil, dan satu
institusi pegadaian syariah yang bisa didorong untuk melakukan kerja sama
pemberdayaan pengusaha UMKM.
Peluang
ini kian besar jika menilik jumlah penduduk Indonesia di tahun 2019 sebanyak
260 juta dan 85% di antaranya merupakan pemeluk agama Islam. Begitu pun jika
mengacu pada jumlah penduduk muslim di dunia yang mencapai 1,8 miliar jiwa (24%
populasi dunia) menjadi potensi tersendiri untuk pemberdayaan pengusaha UMKM
tersebut.
Jika
saja potensi tersebut bisa dikelola dengan baik maka peran KNKS dalam
memberdayakan UMKM berbasis syariah menjadi sangat penting. Karena itu jalinan
kerja sama antara pemerintah daerah dengan KNKS menjadi demikian strategis
untuk mewujudkan kerja sama tersebut.
Tak
hanya itu, bagi pemerintah daerah, keuntungan kerja sama ini akan bertambah
dengan tumbuh dan berkembangnya usaha UMKM yang bisa meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah
(APBD). Efek berantai (multiplier effect)
lainnya meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah karena ingin berbelanja produk UMKM sekaligus
menikmati panorama alam di daerah tersebut. Bahkan sejalan dengan program KNKS
mendorong produk maupun wisata halal, pemerintah daerah pun bisa mempelajari
dan mengimplementasikan program tersebut.
Pada
akhirnya, jika semua mata rantai tersebut bisa saling terkoneksi, masyarakat
berbasis ekonomi syariah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan program-program KNKS
tersebut bisa cepat terwujud. Insya Allah.*** [Karnali Faisal]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar