Rabu, 27 Februari 2013

Sasaran Empuk Bernama TNI


KASIHAN sekali Tentara Nasional Indonesia. Setelah reformasi, ia “dipereteli” kewenangannya dan “diam di baraknya”. Dia digugat habis di masa lalu, kini serba salah. Maju kena mundur kena. Bahkan, ketika Presiden lewat Keppres minta TNI membantu Polri dalam saat tertentu, LSM dan pengkritik yang “cerdas-cerdas” tetap mencacinya.

Ketika kemudian mereka berguguran di tangan gerombolan pengacau keamanan Papua, tak ada suara LSM dan pengkritik cerdas yang membelanya. Seolah pihak-pihak ini disiapkan untuk “membunuh” TNI dan siapa saja penjaga kedaulatan Negara Kesatuan RI.


foto: metrotvnews.com
Peristiwa di dua tempat berbeda di Papua belum lama ini menyisakan pertanyaan besar yang perlu dijawab para petinggi pemerintahan. Di Sinak beberapa prajurit yang hendak mengambil radio komunikasi di-ambush gerombolan pengacau mengakibatkan tujuh prajurit gugur tanpa sempat melawan. Aneh, tempat ini hanya kurang dari dua kilometer dihitung dari markas dan lapangan terbang (airstrip). Tak pernah ada berita bagaimana reaksi prajurit yang masih berada di markasnya terhadap situasi seperti itu. Tampaknya para prajurit TNI itu gugur dalam tembakan salvo (serentak), cepat dan efektif. Tak ada berita perlawanan dari mereka, seolah mereka pergi tanpa senjata untuk bela diri.

Kira-kira sejam kemudian terjadi penyerangan oleh gerombolan lainnya di Tingginambat dan mengakibatkan seorang prajurit gugur dan seorang perwiranya terluka.

Kisah “sedih” masih berlanjut, ketika akan diadakan evakuasi terhadap para prajurit gugur, helikopter malah ditembaki gerombolan. Lagi-lagi, tak ada berita perlawanan atau bela diri memadai dari helikopter di daerah yang jelas-jelas berbahaya itu.

Kisah lucu menyusul kemudian, ketika Badan Intelejen Negara (BIN) membuat “lelucon” dengan mengatakan bahwa kedua daerah itu memang berbahaya. Lucu, sebab di daerah seperti itu prajurit dibiarkan bertugas nyaris tanpa senjata sama sekali. Apakah tidak ada pasokan informasi intelijen memadai? Kenapa mereka begitu “sembrono”? Sementara dari insert-insert berita sejumlah  stasiun TV nasional berhasil ditampilkan gerombolan bebas menenteng senjata organik. Pola intelijen di daerah berbahaya, berkualitas tempur semacam itu, jelas berbeda dengan intelijen kepolisian yang lebih terfokus pada tempat kejadian perkara (TKP). Perlu pola intelijen strategis memadai di tempat berbahaya dan bersituasi “perang” seperti itu.

Di berbagai peristiwa TNI seolah menjadi the sitting duck, sasaran empuk yang tidak berdaya. Ketika LSM-LSM yang disponsori asing “menembaki” TNI dengan negative campaign, ketika gerombolan pengacau menembaki mereka dengan senjata-senjata organik, sesungguhnya mereka perlu para pemimpin yang berani tampil ambil risiko membela anak buahnya. Juga perlu komponen rakyat yang sadar perlunya kehadiran TNI di saat-saat kedaulatan negara kita terganggu.

Bisa dibayangkan bagaimana NKRI masih berdiri, bila TNI “hancur” dan bagaimana Polri bisa menegakkan keamanan dalam negeri bila institusi ini tidak didukung secara memadai. Apakah dibiarkan masuk ke killing field (ladang pembantaian), baik oleh orang asing maupun unsur-unsur anteknya di dalam negeri?

Kritik atas perbuatan mereka di masa lalu perlu diperhatikan, tapi ketika mereka sudah mengikuti arus reformasi, perlu dukungan dari semua pihak termasuk para pemimpin bangsa agar sejenak meninggalkan zona nyaman mereke sekadar memberi spirit kekuatannya. Bangsa ini masih memerlukan TNI dan Polri. Itu kalau kita mau jujur.*** [Ki Jenggung]

3 komentar:

  1. Kunjungan sob

    Mampir juga diblog saya
    http://www.animefree.jp/
    http://www.kumpulantrick.com/

    BalasHapus
  2. Iya LSM,komnas HAM hanya mencari sensasi mereka dibayar pihak asing,kalo ada prajurit TNI gugur mana pernah orang2 LSM dan HAM berbicara,tapi kalo ada anggota TNI yang bertindak karena tuntutan tugas,dajjal2 LSM dan HAM ramai mengeluarkan statment pelanggaran HAM,dimana otak orang2 LSM dan HAM.

    BalasHapus