Selasa, 12 Februari 2013

Annisa Azward Tewas, Jokowi Harus Tegas Kepada Pengelola Angkutan Umum


Kasus tewasnya Annisa Azward karena melompat dari angkot U10 jurusan Kota - Pademangan harus mendapat perhatian serius dari Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi). Kasus ini menambah panjang kecemasan masyarakat akan keamanan bepergian dengan menggunakan angkutan umum. Jika dibiarkan, upaya Pemprov DKI Jakarta mengalihkan masyarakat dari kendaraan pribadi ke angkutan umum akan sulit dilakukan.

Selama ini bukan rahasia lagi, sebagian besar angkutan umum tidak dikelola secara profesional. Hal yang paling sederhana, kewajiban mengenakan seragam bagi para pengemudinya kerapkali diabaikan. Belum lagi ditambah persoalan lain seperti pengemudi yang tidak memiliki SIM, ugal-ugalan dan menelantarkan penumpang.




Terminal Kampung Melayu (foto: infojakarta)
Di masa-masa awal dilantik sebagai Gubernur DKI, Jokowi banyak melakukan sidak ke terminal-terminal bis di Jakarta. Hasilnya, banyak angkutan umum yang tidak layak. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan ide untuk menghibahkan 1000 unit bis kepada para pengelola angkutan. Gagasan ini untuk mendukung pola peremajaan angkutan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dilakukan.

Sekarang, dengan kasus tewasnya Annisa Azward, Gubernur DKI Jakarta bukan hanya mendorong peremajaan angkutan, tapi juga harus bersikap tegas terhadap para pengelola angkutan yang mempekerjakan para sopir serta kernetnya. Peremajaan angkutan harus dilakukan sejalan dengan mentalitas sumber daya manusia baik pengelola maupun yang mengoperasikan angkutan tersebut.

Peremajaan armada
Jika dilihat dari keberhasilan Kopaja P-20 dan S-13 yang melakukan peremajaan armadanya yang kini ber-AC dengan fasilitas Wi-Fi, GPS yang terkoneksi dengan kantor pusat menunjukkan bahwa upaya itu tidaklah sulit. Yang terpenting ada kemauan dari pengelolanya. Semua berangkat dari kemauan pengelola, pengguna trayek, dan pihak bank sebagai pemberi kredit.

Jika peremajaan itu berangkat dari kemauan, lalu bagaimana dengan armada-armada yang seharusnya sudah jadi besi tua namun tetap dipaksakan beroperasi? Apakah itu berarti angkutan umum tidak memiliki prospek bisnis? Jika dihitung secara matematika, tentu saja angkutan umum memiliki prospek bisnis yang baik. Karena toh saat ini di antara pengelola, tidak sedikit yang memiliki armada lebih dari 1 unit, bahkan ada yang 10 unit.

Taruhlah jika setoran rata-rata Rp400 ribu per hari, 10 unit berarti Rp4 juta setiap hari. Itu sudah luar biasa untuk mengoperasikan bus yang kalau dijual harganya mungkin tidak lebih dari Rp50jt per unit. Kalau dihitung-hitung dengan kondisi armada yang sudah tua itu, pengelola bus itu sebenarnya mungkin sudah balik modal belasan tahun lalu. Tidak adanya teguran dari pemerintah untuk melakukan peremajaan armada, membuat mereka terlena, sampai kemudian muncul gagasan hibah angkutan umum.

Alhasil, selain mendorong peremajaan angkutan umum, Pemprov DKI Jakarta harus lebih tegas mengawasi mereka yang terlibat dalam pengoperasian angkutan umum. Tidak ada artinya peremajaan armada tanpa didukung kualitas sumber daya manusia yang mempu memberi pelayanan terbaik bagi para pengguna jasa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar