Rabu, 20 Februari 2013

Parpol, antara Pengasong dan Kartel Bisnis


parodi politik (foto: ngesot.multiply.com)

PEMILU 2014 masih jauh, tapi parpol mulai ancang-ancang, pasang aksi buat menarik perhatian rakyat. Ada yang sangat terlambat, sebab ketika KPU mengumumkan hasil verifikasi, banyak yang gagal sebelum bikin mimbar pesona. Yang laik jalan 10 parpol, yang ecek-ecek belasan, mungkin puluhan. Maka, dibuatlah adegan kagetan di ruangan KPU, misalnya gebrak-gebrak meja, berteriak memaki-maki tak keruan, serta aksi lempar mikrofon.

Untung partai macam ini tak lulus verifikasi. Kalau berhasil lulus bisa dibayangkan bagaimana kualitas perpolitikan kita nanti, tambah runyam. Sebab, partai kecil yang tak lulus tapi dipimpin orang-orang intelektual dan bermartabat, tenang saja, dan akan mengambil langkah hukum. 
Partai kecil-kecil di zaman Orla namanya partai gurem, artinya ya memang kecil banget, tak bernilai apa-apa. Sekarang selain kecil, tak dikenal, juga melarat dan tidak jelas garis politiknya. Naga-naganya mereka bikin partai justru cari jabatan, lantas apalagi kalau bukan uang?  Nama partainya saja huebat-huebat, aneh-aneh, ganjil dan tak dikenal sama sekali.

Partai yang besar dan berpengalaman sudah pasang kuda-kuda tiga tahun lalu. Mereka ini bikin “atraksi” di DPR, demo-demo jalanan, berbagai pernyataan lucu-lucu, entah relevan atau jauh dari itu. Tampaknya ada partai baru yang lihai menarik pengikut, dengan mengiming-imingi rakyat dengan uang. Semacam asuransi, sebab anggota diberi masing-masing Rp1 juta. Syaratnya cuma dua, pertama menjadi anggota partai itu dan yang kedua kalau dia mati dapat asuransi. Di Depok, Jabar, setiap warga yang mati diberi santunan Rp2 juta, tak peduli anggota partai apa pun. Kendati begitu tak ada yang berbondong-bondong mengambil haknya.

Para calon legislatif diberi bekal Rp5 miliar per orang untuk biaya kampanye. Luar biasa, ini partai ataukah kartel bisnis? Sebab, ada transaksi di dalamnya, tak mungkin bos partai itu filantrofi kesiangan. Urusan bisnis, transaksional, akan jadi “ideologi” partai model beginian. Yang dirugikan jelas rakyat. Siapa lagi?

Kini napas bisnis makin tampak pada partai gurem yang tidak lolos saringan. Mereka mengasong ke partai besar, minta bergabung dengan syarat anggotanya dicalonkan. Sinting, kan? Partainya saja tak laik kok bikin penawaran tinggi. Jelas sekali motivasinya: kekuasaan dan uang. Kalau mungkin, berikutnya ya perempuan/wanita. Tahta, harta, dan wanita. Banyak sekali contohnya kok, baik anggota DPR maupun bupati.

Indonesia kini menuju ke amerikanisasi, partai politik banyak dikendalikan para pengusaha agar bisnisnya lancar, tambah besar dan “membunuh” saingan dan yang paling jahat adalah menunggangi pemerintah untuk bisnisnya itu. Neokapitalis banget.

Sejumlah partai besar dan lulus verifikasi punya bos para pebisnis. Kita perlu cepat dan cermat mengkritisi mereka jangan sampai ada politik transaksional, jual-beli. “Wani piro?” Jargon iklan yang populer karena kontekstual.

Principes et senatores discite exemplum populorum. Et agite pro republica populorum, “Wahai para pemimpin dan wakil rakyat belajarlah dari teladan rakyat, dan bekerjalah demi kepentingan umum!” Kalau tidak, ya minggir saja, sebelum digilas roda kemajuan rakyat. Sudah gagal, malah terjungkal.*** [Ki Jenggung]

1 komentar: