Jumat, 22 Februari 2013

Hukum, Moralitas, dan Mentalitas Pariah


”Quid  leges sine moribus?
(Apakah undang-undang dapat
berjalan tanpa moral?)” tanya Horatio
dalam Carmen Saeculare.

foto: skalanews.com
HUKUM tak pandang bulu, tapi ternyata lebih memilih bulu-bulu yang ada di bawah ketimbang yang di atas. Apakah karena lebih nikmat? Belum ada penelitian ilmiah, kendati dugaan empirik mengatakan bisa jadi iya. Buktinya, orang kecil, strata masyarakat bawah, wong cilik, kawula alit, lebih rentan dituntut, dihukum lebih berat.

Bisa saja bulu di atas lebih nikmat, mungkin karena kemampuan finansialnya. Maka, ketika palu hukum diayun, langsung seperti bola memantul, mandul di atas dan keras ke bawah. Orang bilang hukum cuma tajam ke bawah. Sindiran Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) sebagai Kasih Uang Habis Perkara di era 50-an masih berlaku.


Contohnya banyak. Mengambil sandal, tiga buah coklat, memotong bambu, mengambil kelapa empat butir, mencabut tanaman di tanah sengketa, cukup menyeret orang kecil ke tahanan dan memisahkannya dari orang-orang tercinta. Beberapa waktu lalu, di Banyumas, seorang ibu, Ny Ninik, dituntut jadi tersangka karena kecelakaan lalin, anaknya tewas setelah sepeda motornya menyenggol truk, di samping kakinya lumpuh sejak pertengahan tahun lalu. Reaksi publik keras, dan petugas hukum “kalah”. Kasus Ny Ninik ditutup setelah sopir dan pengusaha truk mencabut aduannya. Nah, jelas kan? Lebih kentara lagi reaksi masyarakat pada hukuman “malaikat DPR” yang dianggap terlalu ringan atas korupsi miliaran rupiah.
foto: juhandi.net

Ketua MK, Mahfud MD, dalam peringatan hari lahir NU ke 87 mengatakan, di masa sekarang negara lain sulit menyerang negara lain tanpa sepengetahuan PBB. Tapi, tanpa diserang pun negara akan hancur dengan sendirinya bila hukum dan keadilannya tidak tegak.

Mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: hancurnya bangsa-bangsa dahulu karena para bangsawan, orang kaya, politisi, saat melakukan kesalahan tidak dihukum, tetapi kalau orang lemah tetap dihukum berat. “Yang sedang menyerang bangsa ini adalah ketidakadilan,” kata Mahfud.

Bila penerapan hukum tidak adil maka justru “hukum menjadi seperti alat kejahatan”, lex tamquam instrumentum criminis. Hukum memang harus hitam-putih, tidak pandang bulu, keras. Tapi, dalam menjalankan undang-undang perlu ada moralitas. “Quid  leges sine moribus?

Kejujuran penyelidik, penuntut, dan kearifan hakim adalah moralitas itu. Maka, moralitas hakim pula yang membebaskan para orang kecil dari “kekejaman” pelaksanaan hukum yang tanpa moralitas, kendati sudah “dihukum” lama yaitu ketika dikurung dalam tahanan. Orang kecil gampang jadi korban (apa saja) di negeri ini, maka semakin pahamlah kita kenapa orang berebut-rebut menjadi anggota partai, anggota DPR, bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden sekalipun. Hak-hak mereka lebih besar pun empuk sehingga memungkinkan menikmati hidup mulia. Inilah mentalitas orang miskin, pariah. [Ki Jenggung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar