Rabu, 21 November 2012

Neng

foto: greenstudiosragen.blogspot.com
Tiga, empat, atau bahkan enam bulan. Mengisi hari-hari panjang di penampungan. Menunggu keberangkatan. Berharap esok mendapat giliran.

Setiap hari belajar bahasa, dan tata laksana rumah tangga. Dengan suasana yang sama, tutor yg sama, dan rutinitas yg sama. Kecuali sabtu dan minggu. Sejenak menunggu. Kedatangan kerabat yg dirindu.

"Aku masih punya cita2 sama. Cukup sekali bekerja jadi TKI. Seterusnya kembali lagi menekuni dunia seni," katamu siang itu.

Aku terdiam. Panggung itu masih mengingatkanmu. Tentang gerak, irama dan entah kenangan apa lagi.

"Ya tapi zaman sudah berbeda..." Aku berusaha menepis cita-citamu.

Kamu tersenyum. Menatap lepas halaman gersang gedung penampungan itu


"Aku sudah menduga banyak orang mengatakan yg sama tentang zaman. Tapi aku juga ingin memiliki zamanku seperti yg kucita-citakan selama ini.." Katamu lirih.

Aku menarik nafas panjang. Membayangkan betapa sulitnya mewujudkan cita-cita itu. Masyarakat tidak lagi seperti dulu. Bahkan sebagian di antara mereka malu sekadar menyebut istilah yg mempopulerkan nama kampung halamannya. Pun mereka akan protes dan teriak hingga ke DPR menolak mati-matian sebutan itu.

Dan kini, seorang perempuan yg hanya lulusan SMP, bekas penari, memiliki cita-cita melestarikan seni budaya warisan nenek moyangnya itu.

"Pengalamanmu menjadi penari selama ini rasanya cukup menjadi pelajaran. Bahwa tidak mudah hidup dan menghidupi seni.." Tiba2 aku berkata seperti itu.

"Dan aku berhenti lalu memilih jadi TKI?" Tanyamu sembari tersenyum.

Aku tidak mengiyakan. Rasanya sudah terlalu jelas untuk sebuah jawaban.

Aku melihat raut mukamu keruh. Ada kekecewaan yg terpapar dari sorot matamu. Oh Tuhan, mungkin perkataanku telah melukai hatinya."

Bagiku ini jalan. Mungkin memutar atau malah menjauh.Tapi apa boleh buat ini jalan yg harus lakukan.." Katamu setelah lama terdiam.

"Tapi bukankah pilihanmu menjadi TKW karena tak bisa mengandalkan hidup jadi penari?" Aku menegaskan pertanyaan.

Kamu mengangguk.

"Tidak salah. Aku memang bertekad untuk meewujudkan cita2ku melalui jalan ini..." Katamu lagi.

"Kamu begitu yakin?"

"Ya kenapa tidak. Karena aku menjadikan pilihan hidupku sekarang juga dari sebuah keyakinan mewujudkan cita-cita. Kelak setelah kembali lagi ke kampung aku ingin menekuni dunia seni yg telah membesarkanku. Meski.."

"Meski apa?" Aku memotong perkataanmu.

"Meski aku tau banyak juga orang yg sudah tak peduli, bahkan malu mengakui seni ini warisan leluhurnya sendiri.."

"Karena citranya sering kali negatif.."

"Lebih negatif mana mereka yg diam-diam mencari hiburan di ruang2 tertutup, berasyik masyuk mengumbar nafsu.."

"Tapi itu di ruang pribadi, sedang menari di ruang publik. Ada etika yg terusik. Ada kehormatan yang dipertaruhkan.."

"Justru karena ruang publik itu seni bisa selaras dgn etika yg berlaku..."

"Tapi buktinya mereka protes. Merasa tidak nyaman..."

"Tidak. Banyak juga yg tidak protes. Malah jauh lebih banyak yg tdk protes dan justru tak terganggu dengan sebutan itu..."

"Tapi media banyak mengekspose yg protes, yg tak setuju dgn sebutan itu.."

"Mereka yg memprotes adalah yg mengaku berpendidikan tinggi, pesolek, ganteng cantik, yg punya kesempatan menikmati hiburan selain tradisi seni nenek moyang kita. Mereka yg merasa aib dgn sebutan itu, mereka yg merasa malu dengan sebutan itu. Padahal mereka lahir dan dibesarkan dalam tradisi itu,"

"Itu kan kata kamu yg selama ini menggeluti dunia seni, yg menghidupimu selama ini. Bukankah istilah itu memang melecehkan perempuan2 di kampung kita?"

"Melecehkan? Aku tidak merasa dilecehkan dan sedang melecehkan. Bagiku seni adalah hasil kreativitas. Lalu apa salahnya dgn kreativitas itu?"

"Karena sensualitas itu tak pantas dipertontonkan..."

"Sensualitas yg mana? Bukankah sekian ratus tahun juga seperti itu? Bukankah selama itu tak ada yg menggugatnya?"

"Tapi ukuran moral orang kan berbeda.."

"Nah kalau ukuran moral yg dijadikan patokan, kenapa tidak dikembalikan ke masing2 orangnya. Apakaha jika seni ini tidak ada lalu moral menjadi baik? Apakah kalau seni ini terus hidup, moral menjadi rusak? Aku tak sepakat dgn kesimpulan itu.."

"Kenyataannya masyarakat protes..."

"Itu diskriminatif. Aku tidak terima. Aku yg hidup dari dunia seni seperti ini protes. Temen2ku yg mengkhidmatkan dirinya pada dunia ini juga protes..."

"Masalahnya apakah protesmu juga didengar?"

"Itu urusan nanti. Didengar atau tidak itu tak jadi soal. Bukankah keputusanku sejenak istirahat dari dunia seni juga bagian dr protes itu? Aku ingin jeda sejenak, mengumpulkan tenaga tuk bisa kembali lagi menghidupkan seni tradisi ini. Aku ingin membuktikan kepada mereka bahwa melestarikan seni tradisi ini juga terhormat dan bermartabat..."
***

Neng, itu obrolan kita satu bulan yg lalu. Dan pagi ini, aku menerima sms dari kamu. Mengabarkan keberangkatanmu siang nanti.

Selamat jalan, Neng. Semoga kamu betah di negeri orang. Merajut harapan dan mimpi. Hijrah meninggalkan kehidupan kampung halaman. Betul kata orang bijak, hidup acapkali berawal dr mimpi. Dan kuberharap semua mimpi2mu kan menjadi kenyataan. Selamat jalan, sahabat. Aku dan pegiat seni di sini, menantikan kedatanganmu kembali..***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar