Kamis, 08 November 2012

Merawat Pancasila di Era Sosial Media

Secara teori, bagi kita yang saat ini berusia 20 tahun atau lebih, materi tentang Pancasila itu sudah tamat. Atau meminjam istilah agama, sudah khatam. Mengapa demikian? Sejak kita duduk di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi, Pancasila menjadi materi yang selalu ada di setiap semester atau catur wulan.

Bahkan ketika kita baru duduk di kelas 1 Sekolah Dasar pun sudah dianjurkan belajar menghafal lima sila dalam Pancasila. Begitu juga denga mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN –dulu istilahnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP)—yang juga diajarkan mulai dari SD hingga SMA. Semester pertama kuliah, kita wajib mengikuti mata kuliah Pancasila.


Garuda Pancasila (foto: google.com)
Di masa Orde Baru, sosialisasi Pancasila tidak hanya melalui materi pelajaran. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) menjadi menu wajib bagi siswa dan mahasiswa baru. Kegiatan berlangsung selama kurang lebih satu minggu disatukan dengan kegiatan lain yang disebut Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Belakangan di era reformasi, kegiatan penataran P4 tidak dilakukan lagi.

Selain siswa dan mahasiswa, penataran P4 juga diikuti berbagai elemen masyarakat lainnya. Pedagang, petani, politisi maupun unsur-unsur lain di masyarakat. Tujuannya agar nilai-nilai Pancasila diketahui dan diamalkan. Harapan besarnya, peserta penataran P4 dapat mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Pertanyaannya, apakah dengan mengikuti berbagai kegiatan penataran P4 serta nilai bagus mata pelajaran PKN atau mata kuliah Pancasila menjadi indikator pengamalan Pancasila berjalan baik? Tentu saja belum. Tentunya masih banyak faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi sejauh mana Pancasila diamalkan secara konsisten. Terlebih lagi kita yang hidup di era globalisasi seperti saat ini. Tantangan untuk mengamalkan Pancasila pun tidak sederhana.

foto: rosodaras.wp.com
Berbeda misalnya dengan ketika tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno berpidato di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang rumusan Pancasila. Yang tergambar saat itu merupakan sebuah cita-cita kemerdekaan dari sebuah wilayah yang sudah 350 tahun lamanya berada di bawah penjajahan Belanda.

Para pendiri negara memandang bahwa kelak ketika merdeka, negara yang baru didirikan itu harus memiliki satu ideologi yang bisa menjadi perekat sekaligus falsafah hidup bangsa. Bagaimanapun mereka menyadari Indonesia terdiri dari banyak suku, budaya, agama, bahasa maupun golongan. Karena itu, Bhineka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tapi tetap satu disepakati sebagai semboyan negara.

Kesamaan pandangan inilah yang kemudian membuat Pancasila diterima sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Dengan kearifan yang dimiliki para pendiri bangsa, sila-sila dalam Pancasila seperti yang kita ketahui sekarang ini merupakan warisan yang tak ternilai harganya sebagai pedoman hidup bangsa sejak diproklamirkan hingga kelak ketika kehidupan dunia ini berakhir.

Era Sosial Media
Peta Indonesia (foto: mayara.net)

Ada satu kalimat menarik yang sering dikutip dan disebut-sebut pernah diungkapkan Bung Karno. Kalimat itu adalah, ”Aku titipkan Indonesia kepadamu jika engkau bisa menjaganya”. Kalau kita bicara Indonesia, tentu tidak hanya bicara wilayah dan penduduknya saja. Di dalamnya terdapat sejarah panjang hingga detik-detik lahirnya negara ini. Selanjutnya masuk pada fase kemerdekaan hingga saat ini. Dalam rentang perjalanan panjang sejarah itu, Pancasila termasuk di dalamnya.

Dengan kata lain, pernyataan Bung Karno tersebut bisa kita maknai bahwa menjaga negara tidak hanya terbatas pada kesatuan wilayah, namun nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sebagai dasar negara. Pertanyaannya, sudahkah kita menjaga dan melestarikan Pancasilan sebagaimana yang dikehendaki para pendiri negara? Sudah sesuaikah kehidupan bangsa dan negara kita saat ini dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Pertanyaan di atas bukan sekadar membutuhkan jawaban sudah belum atau iya dan tidak, namun komitmen serta upaya nyata menjaga dan melestarikan Pancasila tersebut. Di tengah era globalisasi saat ini, kita ditantang untuk bisa membuktikan komitmen tersebut. Karena disadari atau tidak, saat ini kita tengah menghadapi pergeseran tata nilai kehidupan yang luar biasa. Semua ini memang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang demikian cepat. Salah satunya, di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang mengantarkan kita pada era digital sekarang ini.

Maka, jika kita kembali mengingat pernyataan Bung Karno seperti di atas, ada sebuah tugas besar yang kita emban yakni menjaga Indonesia serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila. Itu berarti, kita yang ditakdirkan hidup di era digital saat ini harus mampu memanfaatkan berbagai fasilitas yang ada saat ini untuk melaksanakan tugas besar tersebut.

Sosial Media (foto: bisnisukm.com)
Dan berbicara mengenai fasilitas, satu hal yang tidak bisa dinafikan adalah hadirnya berbagai media sosial (social media) yang kini digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Melalui media yang terhubung secara online, para penggunanya bisa berhubungan secara aktif, berpartisipasi dan berkomunikasi secara lebih efektif. Beberapa contoh media sosial tersebut antara lain facebook, twitter, blog, messenger serta media komunikasi virtual lainnya.

Karena itu, kita perlu membangun kesadaran bersama untuk memanfaatkan media sosial tersebut sebagai sarana melestarikan nilai-nilai Pancasila. Banyak hal yang bisa kita lakukan. Misalnya saja, pada momen-momen tertentu seperti memperingati hari lahirnya Pancasila memasang lambang negara tersebut di gambar profil kita, menulis status/tweet tentang Pancasila, menyebarkan pesan tentang pentingnya melestarikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Itu merupakan cara yang paling sederhana. Upaya lainnya dilakukan sesuai dengan kapasitas kita masing-masing, baik sebagai orang tua, guru, murid, maupun status sosial lainnya di masyarakat. Intinya, materi tentang nilai-nilai Pancasila yang kita pelajari sekian lama di bangku sekolah maupun bangku kuliah diaplikasikan dalam kehidupan yang nyata. Menghindari membuat status di jejaring sosial yang provokatif, tidak melecehkan orang lain, tidak menghina suku maupun agama merupakan upaya melestarikan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Sebaliknya, mengembangkan sikap optimis, menghargai perbedaan dan juga saling mendukung antarsesama anak bangsa melalui sosial media merupakan upaya yang bisa kita lakukan dalam merawat Pancasila.

Jika hal sederhana itu bisa kita lakukan dan diikuti saudara-saudara kita yang lain akan memiliki dampak yang sangat positif terhadap kehidupan bangsa. Jangan lupa, menurut data yang dilansir lembaga riset Frost dan Sulivan, hingga Januari 2013 lalu, jumlah pengguna facebook di Indonesia mencapai lebih dari 50 juta orang, sedangkan twitter sekitar 19 juta orang. Dari jumlah tersebut, Indonesia berada di urutan kelima pengguna jejaring sosial di seluruh dunia. Sungguh sebuah jumlah yang besar untuk bisa menyebarkan ’virus’ kebaikan melestarikan nilai-nilai Pancasila kepada semua orang, khususnya di sosial media seperti itu.

lomba blog pusaka indonesia 2013
Apalagi seperti kita sadari bersama, media sosial berpotensi membawa pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Terlepas dari apakah pengaruh itu baik atau buruk. Karena itu, upaya yang kita lakukan di sosial media seperti disebutkan di atas merupakan langkah mulia yang tidak hanya berguna dalam melestarikan nilai-nilai Pancasila, namun juga sekaligus upaya penguatan identitas kita sebagai bangsa dalam komunitas global dan multikultural.

Tentu saja, upaya kita melestarikan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila di ranah sosial media harus juga kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Alhasil, jika itu kita lakukan, satu pesan Presiden Pertama RI Bung Karno untuk menjaga Indonesia sudah kita tunaikan. Merawat dan menjaga Indonesia hingga akhir hayat. Semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar