Jumat, 09 November 2012

Surat Kecil Buat Aida


Hujan Penghabisan

mostlyjakarta.com
Seperti apakah wajah kota hari ini? Aku mengingat tanyamu. Lewat pesan pendek yang terkirim kemarin pagi. Siang ini, Aida. Aku menyusuri jejak kota. Dengan andong bertarif sepuluh ribu rupiah. "Makin sulit cari penumpang," kata sang kusir. Sepeda motor dan kendaraan roda empat seperti bersaing. Menghalangi laju kuda yang sudah lelah berlari. Kuda tak lagi segar. Udara makin berat terkena polusi dan juga terpapar radiasi.




Polisi lalu lintas, lampu merah dan orang yang berlalu-lalang. Dari alun-alun hingga pasar lama. Memutar melintasi toko2 di jalan utama. Berbelok ke depan gedung pengadilan, SMA Muhammadiyah, Masjid Agung, dan kantor telepon peninggalan Belanda.

Lalu, gerimis kecil turun di sini. Angin bertiup di antara ranting pohon dan taman kota. Tempias. Ini kali hujan penghabisan. Dan musim segera berganti. Toh lintang waluku sudah muncul tadi dini hari.

Ah tiba2 aku teringat petak-petak sawah di perkampungan. Seusai hujan, padi di tanam. Menandur di persemaian. Air mengalir di antara pematang. Bercampur lumpur tanah selokan.

Kota dan desa memang selalu menawarkan warna-warni kehidupan.
"Dan acapkali seperti fatamorgana" katamu membalas pesan pendekku.

Aku masih menunggu hujan reda, Aida. Karena usai ini, aku ingin mengabarkan tentang bentang pelangi di ujung hujan penghabisan.***

Buddha
Aida, aku ingin cerita tentang manusia paripurna bernama Sidharta. Kita tahu, Aida. Malam-malam yang gelap, dingin dan beku, dia menghabiskan waktunya untuk bertapa. Juga ketika siang menjelang. Siang malam, tiada henti.
Apa yang dia cari, Aida? Kekayaankah? Ketampanankah? Atau kekuasaan? Tidak semuanya. Dia terlahir dari ayah bernama Prabu Sudhodana. Istana yang megah, juga kerajaan dengan luasnya wilayah. Dan dia adalah pewaris takhta. Jika demikian maka apalagi yang diinginkannya bila sang istri yang cantik Dewi Yasodara dan sang putra bernama Rahula juga demikian sempurna?
Maka, ingatlah, Aida. Pada perjalanan yang sudah ditempuhnya bersama Canna. Lalu dia melihat kehidupan yang sesungguhnya. Bukan hamparan kebahagiaan di lingkungan istana, tapi nestapa, duka cita dan juga derita.
Dan Sidharta meninggalkan semuanya. Menjalani laku penuh keprihatinan. Merasakan luka, derita dan nestapa. Bertahun-tahun lamanya. Setia. Di hutan Uruwela.
Hingga suatu ketika. Di bawah pohon Asetta. Dia pun mencapai Samma-Sambodhi. Samma-
sammabuddha. Purnamasidhi.

Apa arti semua itu, Aida? Aku ingin mengatakan tentang kehidupan. Tentang kesetiaan. Juga
tentang keteguhan. Maka, aku pun mengingat yang pernah disabdakannya: Tumhei Kikkan Atappan - Akkhataro Tathagatha....

Gadis Belia di Selasar Bandara
Menyusuri selasar Soetta, mengingatkanku pada episode perjalanan. Atau tepatnya kepergian. Dan juga perpisahan.
Pada kafe ini, Aida. Aku berhenti sejenak. Melacak lagi jejak. Yang tertinggal diam-diam.
"Perjalanan akan sangat panjang," kataku. Angin berhembus di februari yang basah. Sweater tak mampu menahan dingin, mukamu pucat. "Tidak, seperti kilat. Kau ingat perjalanan bouraq ke sidratalmuntaha," katamu. Tersenyum. Getir.
Tidak, Aida. Aku tahu perjalanan ini adalah jutaan detik waktu yang berpendar mengiringi setiap denyut nadi keputusasaan.

Februari ini, Aida. Aku berjalan lagi menyusuri selasar. Sembari menuliskan lagi catatan. Tentang gadis belia yang terisak tadi pagi di bahu ayahnya. Di sudut kafe ini, seperti setahun lalu. Saat melepasmu dalam sebuah perjalanan.
Aku mendengarkan diam-diam. Melupakan secangkir kopi dan sekerat roti yang kupesan. Tentang isak tangis itu. Dan juga satu keinginan: perjalanan usah lagi dilanjutkan.
Tiba2 aku seperti merasakan. Luka perih sebuah perpisahan. Dan tentang gadis belia yang kan segera ditinggalkan. Aida, untuk ke sekian kali, ingin aku kabarkan di sini pun aku menghitung berapa lama lagi perjalanan. Rindu ini sungguh tak tertahankan.***

Valentine
Aku membaca pesan singkatmu pagi ini, Aida. Kali pertama waktu di sini. Bahkan ketika aku belum beranjak menyapa pagi.
Ini februari, katamu, sekadar mengingatkan setangkai edelweis. dan kita membaca makna kesetiaan.
Hanya dengan setangkai edelweis? Kamu tersenyum. "Juga yang lain..."
Gerimis mulai turun, Aida. Seperti tahun-tahun ketika kamu masih di sini. Dan kita merawatnya untuk mendapat semburat warna dan juga keharumannya.
"Ini masih februari. Mungkin sebulan lagi." katamu suatu ketika.

Sebentar lagi valentine, aida...
Tidak, jawabmu. Valentine, sebatang coklat dan setangkai rose tidaklah cukup berarti. Karena kesetiaan tidak untuk dirayakan. Tapi dirasakan.
Aida, aku membaca pesanmu untuk kesekian kali. Dan juga catatanmu tentang edelweis. Bukan sekadar valentine. Atau kasih sayang. Tapi kesetiaan.
Sebuah mitoskah, Aida?
Kamu tidak menjawab. "Musim dingin di sini. Suhu 15 derajat celcius setiap hari. Mungkin sebulan lagi." pesan singkatmu mengabarkan.
Ah, aku ingat, seperti katamu. Sebulan lagi, tangkai2 edelweis mulai berbunga. Karena seharusnya pada setiap kasih sayang itu, terbit kesetiaan.
Dan, tanpa menunggu jawabanmu, Aida. Aku meyakini: kesetiaan memang bukan sekadar mitos...

Penghambaan
Kita berjalan dalam keraton kuno yang terbuka. Dan gending mengalun. Menghantarkan kidung. Berbaur dengan riuh pengunjung.
Aida, aku ingin berhenti sejenak di sini. Melihat dengan mata hati abdi dalem yang duduk berjejer rapi. Di antara terik matahari. Di sini, Aida. Di tempat kita berdiri menatap mereka.
Kamu bertanya, dan aku menjawab: penghambaan. Juga kesetiaan. Yang mungkin tak pernah kita bisa maknai. Untuk apa? Tanyamu perlahan.
Maka, aku bercerita padamu. Tentang Musa sebagaimana Taurat, Injil dan Al-qur'an menceritakan. Dan aku mencatat sebuah kisah: Hidir yang aneh. Hidir yang tak dimengerti. Dan Musa yang terbata-bata mengikutinya.

Dan kita tau, Aida. Pada akhirnya Musa pun berkeluh kesah. Aida, kamu tau kini, Hidir telah menempuh ma'rifat. Sementara Musa syari'at. Ada dua langkah lagi perjalanan untuk bisa saling mendekat.
Maka, jgn cemas Aida. Karena memang penghambaan selalu menjadi misteri yang tak terpecahkan. Bahkan oleh orang yang selalu mengaku dekat dengan Tuhan. Tapi mulut dan hati mereka dipenuhi tipu daya syetan.  Maka Aida, kita sama-sama memaklumi kini.

Senyap
Om Nammo Buddha Ya
Dua minggu berlalu. Senyap tanpa kabar. Padahal banyak cerita yang ingin kusampaikan. Ini hari sebuah cerita: sepenggal kekuasaan yang senyap.
Hening, seperti yang selama ini kau harapkan. Seperti Bunda mengajarkan Ratna Manggali tentang sejatining urip. Maka tak ada amarah, juga kekuasaan yang pongah. Meski Airlangga diam-diam (sesungguhnya) cemas. Tapi toh di situ tak ada senjata, juga tentara.
Dan kecemasan itu pada akhirnya terbukti. Airlangga dan juga Narotama tak bisa membendungnya. Keriuhan, kebesaran dan juga strategi tiba-tiba luruh. Karena kekuasaan yang senyap. Hening. Transedental.
Apa artinya semua itu, Aida? Persis seperti yang sering kau katakan: kesetiaan. Bunda, Ratna Manggali dan orang-orang Kabikuan tidak mengelak takdir. Mereka menjalaninya dengan setia. Tanpa pamrih dan berharap surga.
Lalu, kalau kemudian Airlangga menyerah, adakah itu sebuah kekuasaan telah luruh? Tidak. Karena pada kahirnya menyadari: kesetiaan jauh ebih utama ketimbang kekuasaan.
Dan, kita tau, pujangga menuliskannya dengan suka cita.
Demikianlah, Aida...

Kangen
Ketika kutulis catatanku pagi ini, mungkin kau baru bangun, atau malah masih terlelap. Terlambat istirah dan menghabiskan malam dengan menuliskan satu per satu harapan. Sebagaimana aku di sini memintal kalimat demi kalimat yang kumaksudkan sebagai simfoni kerinduan karena kangen yang acap tak tertahankan.
Maka, kutuliskan ini dengan sungguh-sungguh. Mengabarkan ungkapan hati sebagaimana matahari mengawal pagi bukan cuma yang kesekian kali. Adakah itu sebuah kesetiaan? Atau kewajiban yang harus ditunaikan?
Aku memilih keduanya. Karena kesetiaan tidak lahir sebagai ungkapan tanpa makna. Atau jejak fatamorgana. Tapi dia pelangi yang muncul seusai hujan, berpendar memancarkan spektrum warna, melahirkan ribuan cahaya.
Ketika kau membaca catatan ini, Aida. Semoga rasa yang sama juga kau tuliskan. Di baris puisi yang kau tulis tadi malam.

Mawar
Aku telah menanam mawar. Lebih dari sebulan yang lalu. Di halaman rumah. Sekadar ingin membuktikan. Catatan yang pernah kau kirimkan: mawar berwarna merah darah, pekat atau putih bersih, suci. Tak ada warna lain kecuali keduanya.
Aku memperhatikan mawar. Tumbuh duri di antara tangkainya. Hingga aku harus hati-hati menjangkaunya. Dua hari yang lalu, aku memetik mawar. Dan meletakkannya di atas vas bunga. Aku melihat keindahan. Di antara kelopaknya. Meski kemudian layu. Tapi tidak luruh.
Hari ini aku memetik lg setangkai mawar. Warna merah darah. Pekat seperti yang pernah kau katakan. Dan aku membenarkan.
Mengapa bukan anyelir, sedap malam atau melati, Aida? Kamu tak membalas tanyaku. Di antara berbagai pesan yang masuk, tak satu pun jawaban kuterima.
Aku memperhatikan lagi mawar. Tangkai, kelopak dan aroma harum yang menyebar. Tiba-tiba aku ingin lebih memahaminya. Barangkali sesuatu bisa kumaknai. Seperti berulang kali kau katakan: warna merah darah, pekat atau putih suci. Teguh.
Senja ini, Aida. Aku menemukan makna itu: tentang keteguhan, pengorbanan dan kesetiaan yang tak pernah luruh....
Malam ini, aku menerima pesan singkatmu: duh, mawar2 yang romantis....

Aku Jatuh Cinta
Aku membacanya perlahan. Tentang catatan yang kau buat. Seperti yang kutulis hari ini: Ya Allah, aku jatuh cinta...
Untuk apa dan siapa cinta itu, Aida. Aku –seperti yang kau katakan terakhir kali-- tak perlu bertanya. Atau mungkin juga tak perlu tau. Atau malah terlalu tua untuk sekadar jatuh cinta. Aiih
Aku mengutip satu bait dalam catatanmu tempo hari.

Aku dengan segala yang ada pada diriku
Karena engkau mencintaiku
Engkau memberiku sayap dan membuatku mampu terbang
Engkau memberi kekuatan pada tanganku hingga ku mampu menyentuh langit yang tinggi
Saat aku kehilangan keyakinan engkau memberikan keyakinan itu kembali padaku
Engkau berkata ‘tak ada bintang yang tak mampu diraih’
Engkau membuatku berdiri dan aku dapat berdiri tegak

Membaca baris demi baris catatanmu, Aida. Aku tau ada keresahan yang menjalar di urat nadimu. Meski tak terungkapkan. Tak terucapkan. Dan aku membaca catatanmu hari.
Ya Allah, selama ini aku juga berharap
Semoga bisa dicintai
Oleh orang yang bisa mengarahkanku
Menuju keridhaan-Mu

Pintaku ya Allah,
Ijinkan aku memiliki rasa ini
Hingga ia menjadi indah di dada kami
Tanpa mengurangi rasa cinta kami kepada-Mu... 

Aida, untuk semua itu, ini adalah sebait puisi yang mungkin bisa kita renungi....
Maka cintailah dlm hening.
Agar jika memang bukan dia yang ditakdirkan untukmu,
Maka cukuplah DIA dan kau yang tahu segala rasamu..
Agar kesucianmu tetap terjaga..
Agar keanggunanmu tetap terbias..

Aida,
cinta hanya butuh kau kendalikan, hanya cukup kau arahkan..
sedang yang kau butuhkan hanya waktu, sabar dan percaya..
Maka, peganglah kendali hatimu,
Lalu..Arahkan pd Nya..
Dan cintailah dalam diam..
Dalam hening..
Itu jauh lebih indah..
Jauh lebih suci..

Separuh Perjalanan
Aku membaca catatanmu pagi tadi. Tentang sepenggal perjalanan. Waktu yang mungkin separuh lagi. Atau tidak sampai bahkan. Karena uban tak kenal kompromi. Dan asam urat, juga tensi yang kadang menaik tinggi.
Separuh lagi. Seperempat lagi. Atau bahkan hitungan waktu yang berlalu terlalu dini. Seperti angka, berderet-deret, mengeja dari satu, dua dan seterusnya. Tak bermakna, dan (seharusnya) bukan sekadar hitungan belaka.
Karena toh ini hari besok berganti pekan, lalu bulan dan tahun. Dan aku tetap lelaki yang terus menghitung waktu. Perjalanan di satu titik, lalu ke titik yang lain. Lalu jeda. Meski aku juga ingin selalu menempatkanmu. Seperti para penyair bilang dalam sebuah bingkai bernama kesetiaan.

Aida, ini kali waktu dihela dalam perjalanan yang gundah. Senja yang resah. Di ambang malam yang rebah. Tapi kita harus tetap bertemu pagi. Seperti dalam catatanmu. Bahwa ini adalah perjalanan. Dan kita harus melanjutkan...
Selamat sore, Aida..!

Amba Bukan Bisma
Bhisma gugur, Aida. Di tahun-tahun yang melelahkan. Sebuah karma. Dan Amba pun gugur dr panah yang dibentangkan Bhisma. Sengaja atau tidak.
Karena kesetiaan. Cinta. Atau pengabdian, atau kesombongan? Tak ada ratap tangis. Seperti ketika Bhisma memenuhi janjinya. Membiarkan panah menancapi tubuhnya. Di sore yang muram di padang kurusetra. Dan Pandawa, juga Kurawa tak melihatnya. Hanya Bhisma. Juga Amba.
"Berhentilah, Amba. Tinggalkan aku di sini.." Bhisma memaksanya. Amba terdiam. "Kesetiaan, Bhisma.." katanya pucat. "Adalah pengabdian.."
Bhisma bergeming. Panah dibentangkan. Amba berdiri mematung. Dan panah melayang. Amba ambruk. Gugur di tangan Bhisma.
Di antara Pandawa, juga Kurawa, Karna, Pendita Durna, Bhisma merasa ini saatnya. Melepas karma setelah menyaksikan perang saudara di antara para cucu tercintanya. Dia tau. Sangat tau. Perang telah ditentukan para dewa. Dan panah yang menancap di tubuhnya. Adalah kehendak Amba di swargaloka. Maka dia membiarkannya.
Aida, Bhisma akhirnya gugur. Bukan oleh Arjuna. Atau Duryudana. Tapi dia meyakini. Karena Amba. Maka dia pergi dengan senyum.
Dan kita tau, ini adalah kesetiaan

Mumtaz
Aida, aku sudah menuntaskan kisah tentang makna cinta. Dan aku belajar padanya. Pada yang mulia Shah Jehan. Pada putri mutu manikam Mumtaz. Dan pada Jahanara.
Tapi tidak pada Khodamir, Isa dan Aurangzeb. Sedikit simpati pada Dara, sang mistikus yang berharap dunia selalu damai. Maka dia membaca vedha. Juga kitab suci ayahanda: alqur-an.
Aida, kematian Mumtaz adalah kesetiaan pada takdir. Tidak rakyat jelata, bangsawan, kaum papa dan penguasa. Dan kedukaan Shah Jehan adalah niscaya. Menyaksikan sosok yang dicintai menghadapi kematian berjarak begitu dekat, tentu. Tentu luka, Nyeri tak terperikan. Menikam dan menoreh jantung.
Sejujurnya Aku tidak bangga Jahanara, Aida. Putri yang cerdas sarat taktik politik. Sayang jalan hidupnya menjadi korban kawin politik. Tapi adakah satu bait puisi penyair yang memujinya ketika dia jg menjalin cinta dengan Isa diam-diam. Hingga lahir Arjumand. Kau tahu, Aida. Pada akhirnya semua adalah kematian. Khadamir tewas ditebas pedang Aurangzeb. Juga Dara yang menjadi korban ambisi politik adik kandungnya. Maka aku ingat Rabindranath Tagore. Suka cita itu usai sudah berganti kematian yang muram.
Aida, ketika kau membaca catatan ini, maka bayangkanlah Dara. Dialah pewaris kesultanan. Tak peduli apakah dia Hindu atau Muslim. Toh Shah Jehan membebaskan seluruh putranya memeluk agama yang diyakini.
Aida, mendedah kisah Shah Jehan seperti mengurai lagi mozaik-mozaik indah di monumen Taj Mahal. Ketika pualam dan ornamen2 dipasang dengan teliti. Ketika sebuah pekerjaan dilandasi niat suci. Ketika kubah dan menara menjadi lambang kesetiaan. Dan pengorbanan.
Maka, sejatinya memang (hanya) Mumtaz dan Shah Jehan. .
Taj Mahal itu, Aida. Telah melukiskan cinta yang sesungguhnya....


Luka
Ingin menyuratimu, Aida. Bercerita lagi tentang rahwana, putra Resi Wisrawa. Adik lain ibu Wisrawana. Dan kau tahu, Aida. Wisrawana, ya Wisrawana, Praja Lokapala itu sejatinya mendamba Dewi Sukesi. Tapi Aida, kamu tahu, Resi Wisrawa yang akhirnya mempersunting Dewi Sukesi.
Ada luka, Aida. Wisrawana. Bertahun-tahun memendam luka. Dan juga kecewa. Dan resah berkepanjangan. Karena Rahwana yang terlahir dari rahim Dewi Suksesi tumbuh menjadi raksasa. Lalu lahir Kumbakarna, Sarpakenaka. Sedikit terobati dengan lahirnya ksatria Gunawan Wibisana.
Demikianlah, Aida. Wisrawana yang terluka. Kalau saja pertandingan memperebutkan Dewi Sukesi tak berhenti. Kalau saja Wisrawana turut serta. Lalu mengapa Wisrawa? Oh Dewata Yang Agung.
Tapi salahkah Rahwana? Tumbuh menjadi raksasa dan menjadi lambang keangkaramurkaan? Tidakkah itu karma atas persetubuhan yang tak lazim? Tapi, oh bukankah itu sudah menjadi kehendak Sang Hyang Widhi? Bukankah itu skenario yang memang harus ada? Tidakkah kelahiran Gunawan Wibisana sesungguhnya menjadi simbol tentang kehidupan? Bahwa pada akhirnya keangkaramurkaan akan tetap terkalahkan dengan kebaikan. Tapi seperti Rahwana, keangkaramurkaan adalah kekal. Ya seperti Rahwana, Aida. Dia kekal. Bahkan dia bertahta dalam hati kita sekalipun.
Sore ini, Aida. Aku menulis lagi nama-nama itu. Dengan catatan kecil di bawahnya: Wisrawana yang berduka....juga Rahwana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar