Minggu, 27 Januari 2013

Masyarakat dan Upaya Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

Kali Citarum (foto: KF)

Jumat (18/1), jam sudah berada di angka 11. Malam makin larut. Pada hari-hari biasanya, jam seperti itu kampung sudah sepi. Tapi malam itu, sebagian besar warga Desa Teluk Bango, Batu Jaya Karawang, belum ada satu pun yang memejamkan mata. Kecemasan menghantui perasaan masing-masing. Mereka harus lebih waspada.

Hujan yang turun sejak sore tadi kini tinggal menyisakan gerimis. Namun meski hujan segera berhenti, kecemasan mereka justeru semakin bertambah. Betapa tidak, hampir satu jam sekali muncul pemberitahuan dari sebuah pengeras suara di mushola mengenai ketinggian air kali Citarum. Ya mereka memang pantas cemas. Pasalnya, tempat tinggal mereka tidak sampai belasan meter dari pinggir kali Citarum. Apalagi sejak sore tadi mereka melihat pemandngan yang mengerikan. Air kali Citarum sudah hampir melewati ketinggian tanggul.


Komaruddin di depan sekolah yang hancur diterjang banjir
“Semoga air laut juga tidak pasang,” harap Komaruddin, 45 tahun, menatap tanggul Citarum yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Dia tidak bisa membayangkan jika air Citarum meluap, semua rumah yang ada di situ pasti tenggelam. Sebagai daerah hilir, aliran sungai Citarum di Teluk Bango memang menerima debit air yang jauh lebih tinggi. Air Citarum tidak hanya berasal dari waduk Jatiluhur, namun juga dari kawasan yang dilalui Citarum seperti Karawang dan Rengasdengklok. Ini masih ditambah lagi dengan air dari Kali Cibeet, Cariu, Bogor yang juga bermuara di kali Citarum.

Ketika tengah berharap agar air Citarum tidak makin bertambah, tiba-tiba terdengar kentongan di Pos Kamling dipukul bertalu-talu. Tanda bahaya. Jam sudah menunjukkan hampir jam 12 malam waktu itu. Dan pemberitahuan yang lebih jelas terdengar dari pengeras suara: tanggul Citarum sudah jebol!

Seketika kepanikan melanda warga Desa Teluk Bango. Suara-suara ketakutan mulai terdengar. Semua berlari meninggalkan tempat masing-masing. Tak ubahnya tsunami kecil, air dari kali Citarum merangsek menghancurkan semua yang dilaluinya. Rumah-rumah di pinggir kali Citarum hancur dan sebagian rata dengan tanah. Dua kelas dari gedung sekolah Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam hancur tersapu derasnya air Citarum.

“Ya Allah, selamatkan kami,” gumam Komaruddin sambil menuntun keluarganya menjauh dari rumah. Mereka semua berebutan menuju kawasan yang lebih aman. Meski air kini menenggelamkan rumahnya, Komaruddin masih bisa bersukur semua keluarganya selamat. Toh dia masih tidak percaya kalau mimpi buruk itu kini benar-benar menjadi kenyataan. Malam hingga pagi menjelang, Komaruddin dan tetangga-tetangganya hanya bisa menatap sedih pemukimannya yang terendam air. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap banjir segera berlalu.

***

“Kalau saya ingat lagi kejadian malam itu jadi merinding,” ujar Komaruddin ketika penulis berkunjung ke rumahnya seminggu setelah banjir mulai surut dalam rangka menyerahkan 1000 paket bantuan buku dan alat-alat tulis bagi anak-anak korban banjir sejumlah sekolah di Teluk Bango. Komaruddin yang juga merupakan

Kepala Sekolah MI Nurul Islam mengaku hingga sekarang kecemasan itu selalu menghantuinya. Apalagi, letak sekolah MI Nurul Islam sendiri hanya berjarak 20 meter dari pinggi tanggul Citarum yang jebol. Kini dua ruang kelas yang hancur

“Sekarang anak-anak belajar dengan fasilitas seadanya dulu. Sebagian anak belajar di satu ruang kelas yang tersisa, sedangkan yang lainnya belajar di bawah tenda,” katanya.

Menurut penuturan Komaruddin, seminggu pasca banjir merupakan masa paling berat dirasakan masyarakat Teluk Bango yang rumahnya terendam air hingga ketinggian 2 meter. Betapa tidak, berbeda saat banjir belum surut, bantuan dalam bentuk makanan dan minuman banyak mengalir ke posko-posko pengungsian. Namun setelah banjir surut, bantuan itu pun tidak mereka terima lagi. Warga harus berusaha membereskan sendiri kondisi rumah dan tempat tinggalnya tanpa mengandalkan bantuan orang lain.

“Ya mau gimana lagi, kondisinya emang begini,” katanya pasrah.

***

sisa bangunan yang rusak diterjang banjir (foto: kf)
Banjir yang melanda masyarakat Teluk Bango, Batu Jaya, pada Januari lalu juga dialami sejumlah pemukiman lain di sepanjang aliran sungai Citarum, Karawang. Sejumlah perumahan di wilayah tersebut seperti Karaba Indah, Bintang Alam, Resinda, Karawang Festivale, Perum Pemda, Gempol Permai, Galuh Mas dan pemukiman lainnya ikut terendam. Ketinggian air di masing-masing lokasi tersebut berbeda antara 1 m hingga 2 m. selain itu, banjir juga menyebabkan terendamnya ratusan hektar sawah yang sudah ditanami padi.

Yang lebih memprihatinkan, jika masyarakat Teluk Bango baru tahun ini mengalami banjir besar, warga di sejumlah perumahan tersebut nyaris diterpa banjir setiap tahun. Banjir dengan volume yang lebih besar juga pernah terjadi pada bulan Maret tahun 2010 lalu.

Bagi masyarakat Karawang, banjir tahun 2010 lalu sebagai sesuatu yang anomali. Pasalnya, bulan Maret dianggap sudah memasuki musim kemarau. Kalaupun masih turun hujan biasanya hingga akhir Februari. Namun kenyataannya, banjir justeru terjadi di akhir bulan Maret. Seperti halnya banjir tahun 2013 ini, banjir tiga tahun lalu pun menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Ratusan hektar sawah turut menjadi korban banjir.

Upaya penanggulangan banjir pun dilakukan. Sejak tahun 2011 pemerintah membangun tanggul  di sepanjang aliran sungai Citarum mulai dari daerah hulu di Bendung Curug, Klari hingga daerah Hilir, Batujaya, Karawang.

Namun meski tanggul sudah dibangun, banjir tetap saja menggenangi pemukiman. Penanganan banjir yang nyaris terjadi setiap tahun di Karawang memang tidak cukup hanya dengan membangun tanggul atau mengeruk sungai yang mengalami sedimentasi. Yang paling utama, pembenahan daerah hulu terutama kawasan-kawasan hutan yang sekarang sudah banyak mengalami alih fungsi lahan.. Kawasan Bandung dan Purwakarta yang dulu penuh dengan pepohonan kini justeru sudah gersang. Akibatnya, ketika turun hujan, air langsung mengalir ke Citarum sehingga menyebabkan volumenya menjadi meningkat dan tidak tertampung lagi. Ini masih ditambah lagi dengan drainase yang buruk.

***

Antisipasi

Dalam banyak literatur disebutkan bahwa saat ini dunia telah bergerak pada kondisi perubahan iklim yang cenderung ekstrim. Perubahan tersebut antara lain dipicu oleh kerusakan lingkungan, industri maupun tindakan-tindakan lain yang mengabaikan faktor kelestarian lingungan. Banjir dan bencana alam lainnya menjadi fenomena paling nyata dari perubahan iklim tersebut.

foto: mesinpertanianmodern.blogspot.com
Bagi masyarakat Karawang yang dikenal sebagai daerah pertanian, banjir yang kerap kali terjadi juga merugikan para petani yang sawahnya terendam. Karena itu upaya mengantisipasi dampak buruk perubahan iklim terus dilakukan, salah satunya dalam bentuk pengaturan waktu pola tanam.

Penulis membandingkan antara lima hingga sepuluh tahun lalu dan sekarang. Dulu untuk waktu tanam musim gadu, penanaman padi mulai dilakukan bulan September atau paling telat Oktober, tapi beberapa tahun terakhir ini mundur menjadi bulan Nopember. Ini tentu menyesuaikan dengan kondisi curah hujan yang banyak turun antara Januari dan Februari. Jika tanam pada bulan tersebut, maka pada Januari atau Februari, tanaman padi sudah besar sehingga tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap kondisi tanaman.

Sedangkan untuk penanaman pada musim rendeng dilakukan tidak lama setelah masa panen musim gadu usai. Biasanya pada musim seperti ini persediaan air di sawah masih cukup banyak. Pada musim rending, ketika padi sudah berumur 3 bulan, biasanya sudah mulai masuk musim kemarau. Ini pun tidak menjadi masalah karena tanaman padi sudah tinggal menunggu panen dalam hitungan minggu. Sebagai ilustrasi, jika panen pada musim gadu jatuh pada bulan Februari, maka  panen pada musim rendeng biasanya Juni. Setelah itu, kemarau cukup panjang hingga Desember dan sebagian petani biasanya mengolah sawah dengan tanaman palawija. Dari sisi hasil, tonase padi pada musim gadu biasanya lebih banyak dari musim rendeng. Begitu pun dengan harga. Untuk 1 Ha sawah, musim gadu mencapai 5-6 ton, namun pada musim rendeng di bawah jumlah tersebut.

Pada tingkat yang lebih atas, upaya antisipasi terhadap dampak dari perubahan iklim dilakukan melalui sistem pengelolaan air Bendungan Jatiluhur. Sebagaimana diketahui, bendungan Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat memiliki banyak fungsi. Selain sebagai sumber air bagi pengairan sawah di Karawang, Purwakarta dan Subang. Air juga digunakan sebagah bahan air minum rumah tangga dan industri. Pengaturan itu terlihat misalnya ketika musim hujan Januari kemarin, pihak pengelola Jatiluhur hanya membuka aliran air ke sungai Citarum. Sedangkan irigasi yang langsung berhubungan dengan sawah, dikurangi debitnya. Karena jika volume air irigasi bertambah dikhawatirkan akan menggenangi pesawahan.

Waspada

Persoalan perubahan iklim yang terus terjadi tampaknya akan terus berlanjut. Ketidakpedulian masyarakat terhadap upaya-upaya mengantisipasi dampak dari perubahan tersebut semakin besar. Di sektor pangan, dampak lanjutan dari perubahan iklim tersebut sudah makin terasa. Salah satunya bisa dilihat dari produksi padi yang makin menurun.

Hal ini terjadi sejak periode 1990-1999, produksi padi terus mengalami penurunan rata-rata menjadi 1,29% per tahun dan terus berlanjut menjadi 0,71% per tahun pada periode 2000-2011. Peningkatan produksi padi mengalami akselerasi hanya pada 1980-an, laju pertumbuhan produksi padi rata-rata meningkat dari 1,1% per tahun pada periode 1970-1979 menjadi 5,32% per tahun pada periode 1980-1989. (Bisnis Indonesia, 24/11/2012).

Tahun 2013 ini, penurunan produksi padi besar kemungkinan terjadi. Mengutip pernyataan Dirjen Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, pada bulan Januari lalu, 28.806 hektare lahan tanaman padi puso atau gagal panen akibat banjir.  Akibatnya, produksi gabah kering giling bulan Januari diperkirakan berkurang 145 ribu ton.

Yang jelas, terus menurunnya produksi padi tentu mengkhawatirka karena akan berdampak terhadap ketersediaan pangan. Pemerintah seringkali mengambil jalan pintas dengan melakukan impor beras. Akibatnya, ketergantungan terhadap beras dari luar negeri menjadi semakin besar.

foto: ryot.org
Di lingkungan internasional, isu tentang perubahan iklim sudah lama digaungkan. Oxfam yang merupakan konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara telah melakukan banyak program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak perubahan iklim tersebut. Oxfam secara konsisten telah menjadi sebuah bagian dari gerakan perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.

Di masing-masing negara anggotanya, para pegiat Oxfam telah banyak melakukan aksi membantu masyarakat mengantisipasi dampak buruk dari perubahan iklim. Chris Hufstader, aktivis Oxfam menuliskan pengalamannya mengenai upaya mengatasi krisis pangan di negara-negara Afrika akibat dari perubahan iklim tersebut.

foto: http://firstperson.oxfamamerica.org
Dia menulis, sejak tahun 2011, curah hujan makin sedikit dan menimbulkan kekhawatiran yang besar akan terjadinya gagal panen di negara-negara Afrika yang bisa mengakibatkan jutaan orang kelaparan. Oxfam pun bergerak cepat melakukan upaya pendampingan di  7negara Afrika yakni Burkina Faso, Chad, Gambia, Niger, Mali, Mauritania, dan Senegal.

“Kami membantu lebih dari 1 juta orang dengan berbagai program yang disesuaikan dengan lokasi masing-masing.  Kami membantu orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan dan ketidakstabilan ekonomi di Mali untuk mendapatkan makanan dan air bersih yang mereka butuhkan agar bisa bertahan hidup. Tim Oxfam juga memperbaiki sumur, dan memberikan makanan untuk hewan, serta memberi upah masyarakat yang bekerja pada pengendalian erosi dan proyek perbaikan tanah,” ungkapnya seperti ditulis di situs firstperson.oxfamamerica.org

Selain itu, Oxfam juga mendistribusikan sabun agar masyarakat bisa tetap bersih, dan sarana pengolah air untuk mengurangi kerentanan terhadap penyakit yang ditularkan melalui air. Oxfam juga mendistribusikan makanan di tempat-tempat yang kekurangan. Upaya lainnya mengatasi persoalan pendapatan petani yang terus berkurang karena dililit utang.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut sudah bisa disimpulkan bahwa krisis masih jauh dari selesai, bahkan jika tidak diantisipasi sejak sekarang kemungkinan terburuk masih bisa terjadi. Karena itu, Oxfam merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan penyediaan bahan makanan dalam jumlah cukup yang bisa digunakan saat krisis terjadi. Di samping itu, menyelenggarakan pelatihan pertanian dan kewirausahaan untuk petani skala kecil (terutama perempuan) untuk membantu mereka lebih produktif sehingga bisa meningkatkan pendapatan keluarga.

Dengan demikian, jelaslah bahwa perubahan iklim kini menjadi persoalan besar negara-negara di seluruh dunia. Karena itu upaya yang dilakukan Oxfam harus mendapat dukungan yang lebih luas lagi dari seluruh unsur masyarakat. Apalagi Indonesia pun juga mengalami hal yang sama. Salah satunya, banjir yang nyaris terjadi setiap tahun dengan intensitas yang makin besar seperti terjadi. di Karawang Januari lalu.

Kondisi ini selayaknya menjadi perhatian bersama untuk lebih peduli dan bersinergi dengan berbagai organisasi, salah satunya Oxfam dengan semua program yang sudah, sedang dan akan dijalankannya.*** [Karnali Faisal]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar