Sabtu, 27 Juli 2019

Defisit kepemimpinan dan wajah kita


BANGSA Indonesia dilanda defisit kepemimpinan. Itu tidak hanya terjadi pada tingkat nasional, namun juga di tingkat lokal. Akibatnya sampai saat ini bangsa Indonesia sulit melepaskan diri dari keterpurukan. Hal itu seperti dikatakan tokoh nasional Ginandjar Kartasasmita dalam sebuah acara beberapa waktu lalu.

Sebenarnya, ungkap Ginandjar, Indonesia tidak kehabisan stok pemimpin. Banyak orang pintar dan cerdik pandai di Indonesia. Hanya saja, mereka tidak mau menjadi pemimpin. Yang terjadi malah sebaliknya, banyak orang tidak memiliki kemampuan justru berebut menjadi pemimpin.
 
Dikatakan, pemimpin bangsa Indonesia yang disyaratkan adalah mempunyai jiwa kerakyatan, profesional, berwawasan, inovatif dan rasional. Pemimpin itu juga mampu memahami masalah kompleks yang tengah dihadapi bangsa dan menemukan pemecahan yang dapat dengan mudah dilaksanakan. Pemimpin itu juga berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan.
 
"Pemimpin demikian bisa saja dilahirkan dan dapat pula diciptakan sebab pemimpin produk dari budaya. Karena itu, untuk mendapat pemimpin yang dikehendaki rakyat perlu ditumbuhkan dari sekarang," kata dia.

Apa yang dikemukakan Ginanjar sebetulnya keprihatinan kita bersama. Di zaman Soekarno, Bung Karno merindukan nasionalis sehingga pemimpin menurutnya juga berjiwa nasionalis. Sayang bahwa nasionalisme Indonesia yang diimpikan tidak benar-benar terwujud bentuknya sehinga sampai sekarang, - beriring dengan otonomi daerah - semangat etnik atau kedaerahan maupun kelompok masih begitu tinggi. Kita juga belum jelas betul seperti apa sebetulnya wajah manusia Indonesia.
 
Di zaman Soeharto, manusia Indonesia yang diimpikan adalah manusia Pancasilais. Untuk itu dibuat lembaga BP4 untuk mempancasilakan anak bangsa ini. Tokh banyak orang ang merasa dikekang oleh Orde Baru. Lalu muncul periode reformasi yang memporakporandakan makna 'manusia Pancasila'. Terlepas soal benar atau keliru, karena reformasi juga tak jelas juntrungnya.
 
Dulu kita memang punya hasta brata (8 tatanan yang harus dilakoni oleh manusia untuk menjadi manusia unggul) dengan mengambil filsafat alam seperti bumi, matahari, laut, angin, api, dll. Kita juga mengenal pembinaan manusia seperti wejangannya Ki Hajar Dewantara (ing ngarso sung tulada, dst). Namun tetap kita kita tidak pernah serius menciptakan tatanan manusia unggul yang bisa diterima banyak pihak.
 
Tentunya kita tidak hendak sibuk dengan teori mana yang hendak dipakai atau bahkan menciptakan teori baru. Yang mendesak diperlukan pasti manusia yang berwawasan kebangsaan, alias menciptakan bangsawan yang merakyat. Sebetulnya mudah sepanjang demokrasi berjalan dibawah panji negera kesatuan. Artinya bangsa ini mau menciptakan kebersamaan, dan tidak suka terkotak-kotak.
 
Kita akui profesionalisme bisa dilatih, namun jika banyak orang antipati jadi pemimpin, jelas ini kita memang sedang kehilangan tokoh panutan pada orang yang selama ini menjadi pemegang kekuasaan di berbagai bidang dan strata. Tidak saja mereka tak mampu menciptakan keteladanan, dunia pendidikan juga "gagal' menciptakan kader bangsa yang santun pada bangsa.
 
Kursus kepemimpinan nasional mungkin perlu diadakan namun perjelas dulu wajah manusia indonesia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar